Tasawuf dalam Islam
Banyak pendapat yang pro dan kontra
mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri.
Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa
paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi
Rasulullah.[1] Dan
orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang
sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut
paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara
kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini
didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam
hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan.
Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang
sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai
akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut.
Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham
tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa
asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari
kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa,
seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham
tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad.
Pendapat lain menyebutkan tasawuf
muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya
karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena
karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa
khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi
terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan
wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik
diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan
menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashri pada abad
kedua Hijriyah. Kemudian
diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan
al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[2]
Pada dasarnya sejarah awal perkembangan
tasawuf, adalah sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi saw. Hal ini dapat dilihat bagaimana
peristiwa dan prilaku kehidupan Nabi saw. sebelum diangkat menjadi rasul.
Beliau berhari-hari pernah berkhalwat di Gua Hira’, terutama pada bulan
ramadlan. Disana Nabi saw lebih banyak berdzikir dan bertafakkur
dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi
saw. di Gua Hira’ inilah yang merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat.
Dalam aspek lain dari sisi prikehidupan Nabi saw. adalah diyakini merupakan
benih-benih timbulnya tasawuf, dimana dalam kehidupan sehari-hari Nabi
saw. sangatlah sederhana, zuhud dan tak pernah terpesona oleh kemewahan
duniawi. Hal itu di kuatkan oleh salah satu do’a Nabi saw, beliau pernah
bermohon yang artinya: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan
matikanlah aku selaku orang miskin”. (HR. al-Tirmizi, Ibn Majah, dan al-Hakim).
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya (periode kedua
setelah periode Nabi saw.) ialah periode tasawuf pada masa “Khulafaurrasyidin”
yakni masa kehidupan empat sahabat besar setelah Nabi saw. yaitu pada masa Abu
Bakar al-Siddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan masa Ali ibn Abi
Thalib. Kehidupan para khulafaurrasyidin tersebut selalu dijadikan acuan
oleh para sufi, karena para sahabat diyakini sebagai murid langsung Nabi saw.
dalam segala perbuatan dan ucapan mereka jelas senantiasa mengikuti tata cara
kehidupan Nabi saw. terutama yang bertalian dengan keteguhan imannya,
ketaqwaannya, kezuhudan, budi pekerti luhur dan yang lainnya.Salah satu contoh
sahabat yang dianggap mempunyai kemiripan hidup seperti Nabi saw. adalah
sahabat Umar Ibn al-Khattab, beliau terkenal dengan keheningan jiwa dan
kebersihan kalbunya, ia terkenal kezuhudan dan kesederhanaannya.
Diriwayatkan pernah suatu ketika setelah ia menjabat sebagai khalifah
(Amirul Mukminin), ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas
sobekan.
Selain mengacu pada kehidupan keempat khalifah di atas, para
ahli sufi juga merujuk pada kehidupan para “Ahlus Suffah” yaitu para
sahabat Nabi saw. yang tinggal di masjid nabawi di Madinah dalam keadaan serba
miskin namun senantiasa teguh dalam memegang akidah dan selalu mendekatkan diri
kepada Allah Swt. Diantara para Ahlus Suffah itu ialah,sahabat Abu
Hurairah, Abu Zar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Muadz bin Jabal, Imran bin
Husain, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan
Huzaifah bin Yaman dan lain-lain.
Perkembangan tasawuf selanjutnya adalah masuk pada
periode generasi setelah sahabat yakni pada masa kehidupan para “Tabi’in
(sekitar abad ke-1 dan abad ke-2 Hijriyah), pada periode ini munculah
kelompok(gerakan) tasawuf yang memisahkan diri terhadap konflik-konflik
politik yang di lancarkan oleh dinasti bani Umayyah yang sedang berkuasa guna
menumpas lawan-lawan politiknya. Gerakan tasawuf tersebut diberi nama “Tawwabun”
(kaum Tawwabin), yaitu mereka yang membersihkan diri dari apa yang pernah
mereka lakukan dan yang telah mereka dukung atas kasus terbunuhnya Imam Husain
bin Ali di Karbala oleh pasukan Muawiyyah, dan mereka bertaubat dengan cara
mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin ini
dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang ahir kehidupannya terbunuh di
Kuffah pada tahun 68 H.
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya adalah memasuki abad
ke-3 dan abad ke-4 Hijriyah. Pada masa ini terdapat dua kecenderungan para
tokoh tasawuf. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang
di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang biasa di sebut dengan “Tasawuf
Sunni” dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti : Haris al-Muhasibi (Basrah),
Imam al-Ghazali, Sirri as-Saqafi, Abu Ali ar-Ruzbani dan lain-lain.Kelompok
kedua, adalah yang cenderung pada kajian tasawuf filsafat,
dikatakan demikian karena tasawuf telah berbaur dengan kajian filsafat
metafisika. Adapun tokoh-tokoh tasawuf filsafat yang terkenal pada saat itu
diantaranya: Abu Yazid al-Bustami (W.260 H.) dengan konsep tasawuf filsafatnya
yang terkenal yakni tentang “Fana dan Baqa” (peleburan diri untuk mencapai
keabadian dalam diri Ilahi), serta “Ittihad” (Bersatunya hamba dengan Tuhan).
Adapun puncak perkembangan tasawuf filsafat pada abad ke-3 dan abad ke-4,
adalah pada masa Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H ), ia merupakan tokoh
yang dianggap paling kontroversial dalam sejarah tasawuf, sehingga ahirnya
harus menemui ajalnya di taing gantungan.
Periode sejarah perkembangan tasawuf pada abad ke-5 Hijriyah
terutama tasawuf filsafat telah mengalami kemunduran luar biasa, hal itu
akibat meninggalnya al-Hallaj sebagai tokoh utamanya. Dan pada periode ini
perkembangan sejarah tasawuf sunni mengalami kejayaan pesat, hal itu ditandai
dengan munculnya tokoh-tokoh tasawuf sunni seperti, Abu Ismail Abdullah bin
Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H.), seorang penentang tasawuf filsafat
yang paling keras yang telah disebarluaskan oleh al-Bustani dan al-Hallaj. Dan
puncak kecemerlangan tasawuf suni ini adalah pada masa al-Ghazali, yang
karena keluasan ilmu dan kedudukannya yang tinggi, hingga ia mendapatkan suatu
gelar kehormatan sebagai “Hujjatul Islam”.
Sejarah perkembangan tasawuf selanjutnya adalah memasuki
periode abad ke-7, dimana tasawuf filsafat mengalami kemajuan kembali
yang dimunculkan oleh tokoh terkenal yakni Ibnu Arabi. Ibnu Arabi telah
berhasil menemukan teori baru dalam bidang tasawuf filsafat yakni tenyang
“Wahdatul Wujud”, yang banyak diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Ibnu
Sab’in, Jalaluddin ar-Rumi dan sebagainya. Kecuali itu pada abad ke-6 dan
abad ke-7 ini pula muncul beberapa aliran tasawuf amali, yang ditandai lahirnya
beberapa tokoh tarikat besar seperti: Tarikat Qadiriyah oleh Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani di Bagdad (470-561 H.), Tarikat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad
bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’I di Irak (W.578 H.) dan sebagainya. Dan sesudah
abad ke-7 inilah tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri
dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau toh ada hal itu hanyalah sebagai seorang
pengembang ide para tokoh pendahulunya.
2. Pengertian dan Asal-usul kata Tasawuf
Tasawuf
memiliki banyak pengertian sesuai dengan asal
-usul kata tersebut antara lain:
1.
Shafa atau suci
,disebut shafa atau suci karena kesucian batin sufi dan kebersihan tindakannya.
2.
Shaff atau barisan,
karena para sufi memiliki iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan senantiasa
memilih barisan terdepan dalam sholat berjamaah.
3.
Shaufanah, yakni
sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di padang pasir jazirah
arabiya. Nama ini digunakan karena banyak sufi memakai pakaian berbulu yang
terbuat dari bulu domba kasar.
4.
Shuffah atau serambi
tempat duduk, yakni shuffah masjid nabawi dimadinah yang disediakan bagi para
tunawisma dan kalangan muhajirin dimasa Rasulullah saw. Para tunawisma tersebut
biasa dipanggil ahli shuffah atau pemilik serambi karena di serambi masjid
itulah meraka bernaung.
5.
Shafwah atau yang
terpilih atau yang terbaik, sufi adalah orang yang terpilih diantara
hamba-hamba Allah swt karena ketulusan amal mereka kepada-Nya.
6.
Theosophi (Yunani:theo=Tuhan;shopos=hikmah)
yang berarti hikmah atau kearifan
ketuhanan.
7.
Shuf atau bulu
domba, karena para sufi biasa memakai pakaian dari buluj domba yang kasar,
sebagai lambang kerendahan hati, untuk menghindari sikap sombong disamping
untuk menenangkan jiwa, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi.
Syuhrawardi mengatakan bahwa mereka berkumpul di masjid madinah, seperti
halnya orang sufi berkumpul di zawiyah dan ribath. Merekab tidak tergerak untuk
berusaha mencari nafkah dan kebutuhan hidup. Rosulullah sendiri menolong orang
banyak untuk memperhatikan dan memberi bantuan kepada mereka.
Jurji Zaidan berkeyakinan pula bahwa ada hubungan kata arabصوفيّ ini
dengan kata yunani ”shofiya” yang artinya kebijaksanaan.
Sedemikian pelik pengertian tasawuf, sehingga para sufi, yaitu mereka
yang menjalankan tasawuf tidak sepakat dalam mengartikannya. Para sufi
mengemukakan pengertian mereka sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing.
Beberapa pengertian yang berkembang dan sering dipakai sebagai acuan
berasal dari Al-Junaid Al-Baghdadi (w.297/910), bapak tasawuf moderat .
Ia mendefinisikan tasawuf sebagai keberadaan bersama Allah swt, tanpa adanya
penghalang. Baginya, tasawuf berarti membersihkan hati dari sifat yang menyamai
binatang, menekan sifat basyariyah (kemanusiaan) , menjauhi hawa nafsu,
memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegangan pada ilmu kebenaran,
memberi nasihat kepada umat, benr\ar-benar menepati janji kepada Allah swt. Dan
mengikuti syariat Rasulullah.
Abu Al-Qasim Al-Husyairi (w.465 H/1073 M) menyebutkan bahwa
tasawuf sebagai ajaran yang menjabarkan Al-Qur’an dan Sunah, berjuang
mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan
menghindari sikap meringankan ibadah. Abu Muhammad Ruwain bin Ahmad
(w.303 H/916 M) mengatakan bahwa tasawuf
sebagai kemerdekaan jiwa bersama Allah atas apa yang dikehendaki-Nya. Bisyr
bin Hans Al-Hafi (w.227 H/842 M) mengatakan: sufi adalah orang yang berjiwa
suci yang menghadap Allah swt. Adapun Muhammad Al-Juraira (w.311 H/924
M) menyebutkan bahwa tasawuf berarti masuk dalam akhlak mulia dan keluar dari
akhlak rendah.
Sementara itu, Abu Yazid Al- Bustami (w.261 H/875 M), pencetus
teori fana baqa dan ittihad dalam tasawuf mengemukakan bahwa tasawuf mencakup
tiga aspek, yaitu kha’, ha’, dan jim. Kha’ maksudnya takhalli berarti
mengosongkan diri dari perangai yang tercela;ha’ maksudnya tahalli berarti
menghiasi diri dengan akhlak terpuji, dan jim maksudnya tajalli, berarti
mengalami kenyataa ketuhanan. Makruf Al-Karkhi (w. 200 H/816 M), guru
Al-Junaid, menyebut tasawuf sebagai ketidakpedulian terhadap kenyataan
danmengabaikan apa yang ada di tangan makhluk. Katanya, siapa yang tidak
sanggup merealisasikan kefakiran, niscaya dia tidak sanggup merealisasikan
tasawuf.
Pengertian yang hampir sama di
kemukakan juga oleh Zhunnun Al-Mishri (w. 334 H/946 M). Adapun Al-Hallaj (w.309
H/922 M), sufi pembawa doktrin al-hullul, menekankan tasawuf sebagai keesaan
zat yang tidak menerima seseorang dan seseorang tidak pula dapat menerimanya. Ibnu
Arabi (w. 638 H/1241 M) yang dikenal sebagai tokoh doktrin wahdatul-wujud
menekankan tasawuf sebagai berakhlak sesuai dengan akhlak Allah swt.
Dan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, Zakaria Al-Anshari
(852-925 H/1448-1519 M), seorang penulis tasawuf, meringkas tasawuf sebagai
cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan
rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian
diri, dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.
Selain itu, Ibrahim Basyuni, sarjana muslim berkebangsaan mesir, setelah
mengemukakan 40 definisi tasawuf, termasuk beberafa definisi yang telah
dikemukakan di atas, mengategorikan pengertian tasawuf pada tiga hal:
1. Kategori al-bidayah, yaitu pengertian tasawuf pada
tingkat permulaan. Kategori ini, seperti di kemukakan Ma’ruf Al-Karkhi di atas,
menekankan kecenderungan jiwa dan kerinduannya secara fitrah kepada Yang Maha
Mutlak, sehingga oprang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah swt.
Kecenderungan jiwa seperti ini menurutnya dimiliki oleh setiap manusia. Dalam
fitrah inilah manusia berbeda dengan binatang.
2. Kategori al-mujahadah, yaitu pengertian tasawuf pada
pengalaman yang di dasarkan pada kesungguhan. Pengertian in misalnya, di
berikan oleh Al-Jurairi dan Al-Qusyairi yang lebih menonjolkan akhlak dan amal
dalam pendekatan diri kepada Allah swt.
3. Kategori al-mudzaqat, yakni pengertian tasawuf pada
pengalaman batin dan perasaan keberagamaan, terutama dalam mendekati Zat Yang
Mutlak.
Dari ketiga pengertian umum tasawuf tersebut, Basyuni
menyimpulkan bahwa tasawuf adalah kesadaran murni yang mengerahkan jiwa secara
benar kepada amal dan aktifitas yang sungguh-sungguh dan menjauhkan diri dari
keduniaan dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Untuk mendapatkan perasaan
dalam berhubungan dengan-Nya.
Tasawuf, sebagai bagian dari ilmu, di definisikan oleh
Muhammad Amin Al-Kurdy. Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat
diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keburukan jiwa, cara
membersihkannya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk, melangkah menuju keridhoan
Allah dan meninggalkan laranganNya. Serta mengerjakan semua yang
diperintahkanNya. Orang sufi, menurut Al-Kurdy, ialah orang yang hatinya
jernih, terhindar dari kehidupan buruk, dan senantiasa terisi oleh nur Ilahi,
sehingga kemurnian hatinya bagaikan emas.
Ajaran pokok tasawuf berkisar mengenai proses penyucian
jiwa dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Proses ini sangat panjang dan
melalui banyak tahapan disebut dengan “maqamat”. Sedikitnya ada tujuh maqamat
yang harus dilalui oleh seorang sufi agar dapat berdekatan dengan Allah SWT .
Ketujuh maqamat yang harus dilalui yaitu : Taubat, Zuhud , Sabar ,Tawakal,
Ridha, Mahabbah(Cinta), dan Makrifat.
Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai pengertian
tasawuf menurut para sufi dan para pengamat, tetapi ada dua hal pokok tentang
tasawuf yang disepakati semua pihak yaitu : Pertama , Kesucian jiwa
untuk menghadapa Allah sebagai Zat Yang Maha suci. Kedua , upaya
pendekatan diri secara individual kepada-Nya. Jadi, pada intinya tasawuf adalah
usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada
Allah sehingga kehadiran Allah dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Kedua pokok
tasawuf itu, mengacu pada pesan dalam Al-Qur’an
قَدۡ
أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya”(Q.S Asy-Syams/91 : 9-10)
Bertolak dari kandungan
ayat ini, kaum sufi lebih menekankan introspeksi diri daripada memperhatikan
orang lain. Semboyan mereka :”Hiasilah dirimu denga sifat-sifat terpuji!”.
Maksudnya , hendaklah manusia senantiasa menyadari noda-noda dirinya, supaya ia
tidak berhenti menyucikannya.
Jadi, pada dasarnya
mengamalkan tasawuf berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT. Akan tetapi,
upaya demikian tidaklah akan mencapai hasil kalau tidak diawali dengan yang
suci pula. Dengan demikian, menyucikan jiwa merupakan hal yang pokok dalam
tasawuf. Penyucian jiwa itu berdampak pada kedamaian, kebahagiaan, dan
kesejukan kalbu. Allah SWT berfirman:
قَدۡ
أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ ١٤ وَذَكَرَ ٱسۡمَ
رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ ١٥
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman.
Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang” (Q.S Al-A’la/87 : 14-153.
3. Sumber Tasawuf
Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang
mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam,
unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Yunani, Unsur Hindu/Budha, dan Unsur
Persia. Kelima unsur
ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.
Unsur Islam
Secara umum ajaran
Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan
yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah itulah
kemudian tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup
besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktik kehidupan
Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan
manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) (qs. Al-Maidah (5) ayat
54), perintah agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri memohon
ampunan kepada Allah (qs. Tahrim ayat 8), petunjuk bahwa manusia akan
senantiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada. (qs. Al-Baqarah(2)
ayat 110), Tuhan dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakinya (qs.
An-Nur, 35). Selanjutnya al-Qur’an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya
tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (qs. Al-Hadid, al-Fathir,
5), dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah
SWT. (QS. Ali Imran, 3)
Sejalan dengan apa
yang dibicarakan al-Qur’an di atas, al-Sunnah pun bnyak berbicara tentang
kehidupan rohaniah. Berikut ini beberapa teks hadits yang dapat dipahami dengan
pendekatan tasawuf.
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيّاً فَاَحْبَيْتُ اَنْ
اُعْرِفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى عَرَفُونِي
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku menjadikan
makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
Hadits tersebut
memberikan petunjuk bahwa alam raya, termasuk kita ini adalah merupakan cermin
Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenal dirinya melalui penciptaan ala
mini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat
didayagunakan untuk mengenal-Ny. Dari apa yang ada di alam raya ini pda
akhirnya akan kembali kepada Tuhan.
Hadits
berikut menyatakan:
لايزال
العبد يتقرب الي با النوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذي يسمع ؤبصره الذى
يبصربه ولسا نه الذى ينطق به ويده الذي يبطش بها ورجله الذي يمش بها فبى يسمع فبى
يبصر وبى ينطق وبى يعقل وبى يبطش وبى يمش
“Senantiasalah seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku
dengan amalan-amalan sunat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila mencintainya
maka jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang
dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan
kakinya yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan Ku-lah dia mendengar,
melihat, berpikir, berbicara, meninju dan berjalan.”
Hadits tersebut di
atas memberi petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan bisa bersatu. Diri manusia
bisa lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’, yaitu fananya makhluk sebagai
yang mencintai kepada diri Tuhan sebagai yang dicintai.
Selanjutnya di dalam
kehidupan Nabi Muhammad SAW. juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya
sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua
Hira’ menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan di mana
waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan
yang menggunakan segala cara yang menghalalkan.
2.
Unsur Luar Islam
Dalam berbagai literatur yang
ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa
tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama masehi, unsur Yunani, unsur
Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun
secara akidah perlu kehati-hatian. Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa
adanya unsure luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu desababkan karena secara
historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam, bahkan banyak dikenal
oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam. Akan tetapi kita dapat
mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut,
namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf, karena para
penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari
mereka itu. Dengan demikian adanya unsur luar Islam yang mempengaruhi tasawuf
Islam itu merupakan masalah akademik bukan masalah akidah Islamiah. karenanya
boleh diterima dengan sikap yang sangat kritis dan obyektif. Kita mengetahui
bahwa Islam sebagai agama universal yang dapat bersentuhan dengan berbagai
lingkungan sosial. Dengan sangat selektif Islam bisa beresonansi dengan
berbagai unsure ajaran sufistik yang terdapat dalam berbagai ajaran tersebut.
Dalam hubungan ini maka Islam termasuk ajaran tasawufnya dapat bersentuhan atau
memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf yang bersal dari luar Islam itu.
Unsur-unsur luar Islam yang diduga
mempengaruhi tasawuf Islam itu selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
3.
Unsur Masehi
Orang
Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan
ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa
tasawuf adalah buah dari unsur agamaNasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah.
Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziheryng mengatakan bahwa pakaian wol kasar
yang kelak digunakan para sufi sebagai lambing kesederhanaan hidup adalah
merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson
mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan
bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.
Unsur-unsur
tasawuf yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam adalah sikap fakir. Menurut
keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang kafir, dan Injil
juga disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata: “beruntunglah kamu
orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang
yang lapar, karena kamu akan kenyang. “Selanjutnya adalah sikap tawakkal kepada
Allah dalam soal penghidupan terlihatpada, peranan syaikh yang menyerupai
pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri
tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari Khalik,
dan penyaksian, di mana sufi dapat menyaksikan hakekat Allah dan mengadakan
hubungan dengan Allah.[3]
4.
Unsur Yunani
Kebudayaan
Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai
pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir
filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang
Islam yang ingin berhubungan dngan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai
perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh
filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah
menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi’,
al-Kindi, Ibn Sina teruma dalam uraian mereka tentang filsafat jiwa. Demikian
juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi,
Suhrawardi dan lain-lain sebagainya.
Apabila
diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah segala sesuatu diukur
menurut akal pikiran. Tetapi dengan munculnya filsafat liran Neo Platonis
menggambarkan, bahwa hakekat yang tertinggi hanya dapat dicapai lewat yang
diletakkan Allah pada hati setiap hamba setelah seseorang itu membersihkan
dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis: “Kenallah dirimu dengan
dirimu” diambil oleh para sufi dan di antara sufi berkata: “Siapa yang mengenal
dirinya, maka dia mengenal Tuhannya”. Hal ini semua mengarah kepada munculnya
teori Hulul, Wihdah Ash-Syuhud, dan Wihdah al-Wujud. Tidak syah lagi bagi
kelompok Neo Shopi (Sufi berketuhanan dan filosof) seperti Ibn Arabi, Ibn
al-Farabi, al-Hallaj, ditemukan pengaruh nyata filsafat dalam cara berpikir
mereka.
5.
Unsur Hindu/Budha
Antara
tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan
seperti sikap fakir, darwisy. Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara
cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian pula paham reinkarnasi
(perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia
versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah
satu maqomat Sufiah al-Fana tampaknya
ada persamaan dengan ajaran tentang Nirwana
dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara
tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahin bin Adam tokoh sufi.
Menurut
Qomar Kailani pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau
diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dai Hindu/Budha berarti pada zaman
Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal
sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
6.
Unsur Persia
Sebenarnya
antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan semenjak lama yaitu hubungan
dalam bidang politik, pemikiran kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum
ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah
masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke
Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun barangkali ada
persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu dan Mandaq
dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam agama
Zarathustra.
Dari semua uraian ini dapatlah
disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf ini bersumber dari ajaran Islam itu
sendiri mengingat yang dipraktekkan Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat
dilihat dari azas-azasnya. Semuanya berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah
akan tetapi tidak dipungkiri bahwa setelah tasawuf itu berkembang menjadi
pemikiran dia mendapa pengaruh dari filsafat Yunani, Hindu Persia dan lain
sebagainya, dan hal itu tidak hanya terjadi dalam bidang tasawuf saja melainkan
juga dalam bidang lainnya.
Jika jalan pemikiran tersebut
digunakan untuk melihat ajaran tasawuf, maka dapat kita katakana, bahwa ajaran
tasawuf itu sama kedudukannya dengan ajaran lainnya dalam Islam, seperti
teologi, fiqh, dan lain sebagainya. Ajaran tasawuf bersumber pada al-Qur’an dan
al-Sunnah yang penggarapannya memerlukan bantuan pemikiran yang sehat, lurus
dan tidak keluar dari semangat ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri,
yaitu pemikiran yang tidak sampai mengingkari adanya Tuhan dan kerasulan Muhammad,
tidak sampai menentang rukun iman dan rukun Islam, dan seterusnya. Jia dijumpai
pemikiran tasawuf yang tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu,
maka segera diperbaiki, dan hal ini telah dilakukan oleh para ulama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka
tidak ada alasan untuk ragu-ragu menerima ajaran tasawuf, atau menolaknya.
Bahkan jika boleh dikatakan bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti ajaran Islam,
dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut. Pertama, bahwa kehidupan
yang kekal adalah kehidupan di akhirat nanti yang kebahagiaannya amat
bergantung kepada selamatnya rohani manusia dari perbuatan dosa dan
pelanggaran. Allah berfirman:
إِلَّا
مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ ٨٩
“ Kecuali orang-orang yang
menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (QS. Al-Syu’ara, 26:89)
Untuk mewujudkan rohani yang sehat
sebagaimana diisyaratkan dalam ayat tersebut termasuk salah satu tugas tasawuf
yang utama. Kedua, bahwa kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di
dunia ini sebenarnya terletak pada adanya keterangan batin yang dihasilkan dari
kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Banyaknya harta benda, pangkat,
kedudukan dan lain sebagainya sering membawa seseorang kepada kehidupan yang
lupa diri, dan terperosok ke lembah maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa
tasawuf. Sebaliknya banyak orang yang kehidupan ekonomi, status sosial dan
kedudukannya biasa-biasa saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang,
disukai orang dan seterusnya yang disebabkan karena yang bersangkutan
menunjukkan jiwa dan sikap yang mulia yang dihasilkan dari ketundukan dan
ketakwaan kepada Tuhan.
Ketiga, bahwa dalam perjalanan hidupnya
manusia akan sampai pada batas-batas di mana harta benda, seperti tempat
tinggal yang serba mewah, pakaian serba lux, kendaraan mengkilap dan lain sebagainya
tidak diperlukan lagi, yaitu pada saat usianya sudah lanjut yang ditandai
dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya pencernaan makanan, kurang
berfungsinya pancaindera, dan kurangnya selera terhadap berbagai kemewahan.
Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih
mendekatkan diri pada Tuhan, tempat ia harus mempertanggujawabkan amalnya.
Keempat, dalam suasana kehidupan modern
yang dibanjiri oleh berbagai paham sekuler seperti materialisme (memuja materi, hedonisme
(memuja kepuasan nafsu), vitalisme (memuja
keperkasaan), dan sebagainya, sering menyeret manusia kepada kehidupan yang
penuh persaingan, rakus, boros, saling menerkam, dan lain sebagainya. Keadaan
tersebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai produk budaya yang
negatif mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan yang melupakan
diri, pakaian yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran dan sebagainya.
Hal tersebut kemudian memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda. Untuk
mengatasi masalah tersebut banyak membutuhkan pemikiran, biaya, tenaga, waktu
dan yang tidak sedikit. Dalam keadaan demikian tasawuf dapat menjadi salah satu
alternatif untuk mengatasi masalah tersebut secara ekonomis, tetapi hasilnya
cukup efektif.
Dengan melihat sebagian kecil dari
keuntungan yang ditawarkan oleh tasawuf ini, maka tidak ada alasan untuk tidak
menerima tasawuf sebagai bagian integral dari ajaran Islam, bahkan ia harus
diletakkan pada barisan yang paling depan dalam menyelamatkan kehidupan manusia
dari bahaya kehancuran dan kesengsaraan di dunia dan akhirat.
4. Karakteristik Tasawuf
Abu al-wafa Al-Ghanimi At-Taftazani, dosen
filsafat Islam dan tasawuf Universitas Cairo, mengemukakan ciri umum tasawuf,
yaitu bahwa tasawuf memiliki nilai-nilai moral yang bertujuan untuk
membersihkan jiwa. Nilai-nilai ini hanya dapat diperoleh melalui
latihan fisik-psikis serta pengekangan diri dari materialisme duniawi.
Dengan latihan ini, seorang sufi akan sampai pada kondisi
psikis tertentu dimana ia tidak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya.
Bahkan ia merasa kekal abadi dalam realitas mutlak. Kehendaknyapun lebur dalam
kehendak yang mutlak, sehingga tersingkaplah rahasia segala sesuatu. Inilah
pengalaman yang memberikan ketentraman dan kebahagiaan pada seorang sufi.
Ciri tasawuf yang dikemukakan di atas sebenarnya
merupakan ciri-ciri umum yang mencakup segenap bentuk mistik, baik yang ada
dalam lingkungan Islam maupun nonislam. Ciri-ciri ini hanya dapat diterapkan
pada tasawuf yang matang dan sempurna. Sehingga, seperti yang dikatakan Ibnu
Arabi, pengetahuan dalam tasawuf bersifat pasti dan meyakinkan, bukan bersifat
spekulatif.
Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, bukan
melalui dalil. Orang yang mendapat pengetahuan ini dianggap berada dalam cahaya
Allah di jalan yang benar, karena mereka mampu melihat sesuatu langsung dari
hakikatnya. Itu sebabnya tasawuf sukar untuk diungkapkan dengan kata-kata yang
mudah di pahami oleh masyarakat awam. Ia merupakan puncak pengalaman perjalanan
rohani menuju yang mutlak. Apalagi pengalaman tasawuf ini juga merupakan
karunia dari tuhan setelah seseorang menempuh penyucian rohaninya melalui
latihan-latihan fisik-psikis yang berat. Akal sama sekali mempunyai peranan
disini.
Dalam konteks inilah, seperti sering dikatakan Ibnu
Arabi, tasawuf hanya dikaruniakan Allah kepada para Nabi dan wali. Sebab,
merekalah yang telah mencapai puncak tertinggi proses penyucian rohaninya dalam
mendekatkan diri kepada Allah.
5. Macam-macam Tasawuf
Berdasarkan obyek dan sasarannya, tasawuf diklarifikasikan
menjadi tiga macam yaitu Tasawuf
akhlaqi
Yaitu
tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis (moral).
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu.
Manusia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia.
Cara hidup seperti ini menurut al-Ghazali akan membawa manusia ke jurang
kehancuran moral. Sehingga kehidupan di dunia akan menjadi tujuan utama, bukan
sebagai jembatan atau sarana untuk menuju kebahagiaan dan kenikmatan yang
hakiki.
Pandangan hidup
seperti itu menjurus ke arah pertentangan manusia dengan sesamanya, sehingga ia
lupa akan wujud dirinya sebagai hamba Allah yang harus berjalan di atas
aturan-aturanNya. Karena sebagian besar waktu dihabiskan untuk
persoalan-persoalan duniawi, ingatan dan perhatiannya pun jauh dari Allah.
Menurut al-Ghazali itu semua disebabkan oleh tidak terkontrolnya hawa nafsu.[4]
Sebenarnya manusia
tidak bisa mematikan sama sekali nafsunya, tetapi ia harus menguasainya agar
nafsu itu tidak sampai membawa kepada kesesatan. Nafsu merupakan salah satu
potensi yang Allah ciptakan didalam diri manusia agar ia dapat hidup lebih
maju, penuh kreativitas, dan bersemangat. Jika manusia tidak mempunyai nafsu,
tidak akan ada kemajuan dalam kehidupan mereka.
Namun, sebagaimana
yang telah diterangkan dalam al-Qur’an, manusia mempunyai kecenderungan untuk
menjadi baik ataupun buruk. QS.Asy-Syams[91]:8–10, QS.Al-Jatsiyah[45]:23. Ayat-ayat
tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Allah memberikan dua jalan, yakni jalan
kebaikan dan jalan keburukan. Namun Allah juga melarang kita untuk menjadikan
hawa nafsu sebagai tuhan. Maka manusia perlu mengendalikan hawa nafsunya agar
bisa mengaturnya sesuai dengan ketentuan Allah.
Para sufi menyatakan
bahwa rehabilitasi kondisi mental yang tidak baik tidak akan berhasil baik
apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya pada tahap-tahap
awal memasuki ilmu tasawuf, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan
latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa
nafsu dalam rangka pembersihan jiwa untuk dapat berada di hadirat Allah.
Tindakan manusia yang dikendalikan oleh hawa nafsu dalam mengejar kehidupan
duniawi merupakan tabir penghalang
antara manusia dan Tuhan. Sebagai usaha menyingkap tabir yang membatasi manusia
dengan Tuhan, ahli tasawuf membuat suatu sistem yang tersusun atas dasar
didikan tiga tingkatan, yakni sebagai berikut:
a) Takhalli
Takhalli berarti membersihakan diri
dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Diantara
sifat-sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia ialah hasad (dengki),
hiqd (rasa mendongkol), su’udzan (buruk sangka), takabbur (sombong),
‘ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir),
dan gadab (pemarah). Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya dan rugilah orang
yang mengotorinya.” (TQS. Asy-Syams[91]:9-10)
Takhalli juga berarti mengosongkan
hati dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan
dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala
bentuknya. Menurut orang-orang sufi, kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi
dua: Maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir ialah segala sifat tercela
yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Maksiat batin ialah segala sifat tercela yang
diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.
Pembicaraan
tentang sikap atau kelakuan yang tercela ini dalam tasawuf atau akhlak lebih
didahulukan daripada pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang terpuji
karena ia termasuk usaha takhliyah (mengosongkan diri dari sifat-sifat
tercela) sambil mengisinya (tahliyah) dengan sifat-sifat yang terpuji.
Membersihkan
diri dari sifat-sifat tercela, oleh orang-orang sufi dipandang penting karena
sifat-sifat itu merupakan najis maknawi (najasah ma’nawiyah). Adanya
najis-najis ini pada diri seseorang menyebabkan ia tidak mungkin dekat kepada Allah,
sebagaimana kalau mempunyai najis dzati (najasah suriyah), ia tidak
mungkn dapat mendekati atau melakukan ibadah yang diperintahkan Allah.
Kelompok
sufi yang ekstrem berkeyakinan, kehidupan duniawi benar-benar sebagai “racun
pembunuh” kelangsungan cita-cita sufi. Dunia adalag penghalang perjalanan.
Karena itu, nafsu duniawi harus “dimatikan” dari diri manusia agar ia bebas
berjalan menuju tujuan; mencapai kenikmatan spiritual yang hakiki.
b) Tahalli
Tahalli yaitu mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji,
dengan taat lahir dan taat batin. Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ
ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ
يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٩٠
Sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan
Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (TQS.An-Nahl[16]:90)
Tahalli
juga berarti menghiasi diri
dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik.
Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan
agama, kewajiban yang bersifat lahir maupun batin. Yang dimaksud dengan
ketaatan lahir diantara lain seperti shalat, zakat, puasa, haji dan dakwah.
Sedangkan yang dimaksud dengan kekuatan batin yaitu iman, ikhlas dan lain
sebagainya.
Tahalli
ini merupakan tahap pengisian
jiwa yang telah dikosongkan pada tahap Takhalli. Dengan kata lain,
sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang tidak
baik dapat dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ke tahap
berikutnya yang disebut tahalli. Al-Ghazali menerangkan bahwa bersifat
baik atau berakhlak terpuji itu artinya menghilangkan semua kebiasaan yang
tercela yang telah dijelaskan oleh ajaran agama, dan bersamaan dengan itu
membiasakan sifat yang baik, mencintai dan melakukannya.
Manusia
yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela (takhalli)
dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli), segala
perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas.
Artinya tanpa mengharapkan suatu balasan atau embel-embel lain. Seluruh hidup
dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari keridlaan Allah semata. Karena
itulah manusia yang seperti ini dapat mendekatkan diri kepada Allah.
c) Tajalli
Tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum
sufi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT: Allah adalah nur
(cahaya) langit dan bumi (QS.An-Nuur[24]:35) Karena itulah setiap calon
sufi mengadakan latihan-latihan jiwa (riyadah), berusaha membersihkan
dirinya dari sifat-sifat yang keji, melepaskan segala sangkut paut dengan
dunia, lalu mengisi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji, segala tindakannya
selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak dzikr, menghindarkan diri dari
segala yang dapat mengurangi kesucian diri, baik lahir maupun batin. Seluruh
jiwa (hati) hanya semata-mata untuk memperoleh tajalli, untuk menerima
pancaran nur ilahi.
Menurut kaum sufi, jalan
kepada Allah itu terdiri dari dua usaha. Pertama, mulazamah yaitu
terus-menerus berada dalam dzikr kepada Allah; kedua, mukhalafah yaitu
terus-menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan-Nya.
Apabila jiwa telah terisi dengan sifat-sifat yang mulia dan sudah terbiasa
melakukan amal-amal shalih dan perbuatan-perbuatan luhur, maka untuk
selanjutnya agar hasil yang diperoleh itu tidak berkurang, perlu penghayatan
rasa ketuhanan.
Orang-orang sufi
berpendapat bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa itu hanya
dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu.
Dengan kesucian jiwa ini, maka akan terbuka jalan untuk mencapai Tuhan. Untuk melestarikan dan memperdalam rasa
ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain adalah:
1) Munajat
Secara sederhana kata ini mengandung arti
melaporkan diri ke hadirat Allah atas sega aktivitas yang dilakukan. Dalam
munajat itu, disampaikan segala keluhan, mengadukan nasib dengan untaian
kalimat yang indah seraya memuji keagungan Allah. Ini adalah salah satu bentuk
doa yang diucapkan dengan sepenuh hati disertai dengan deraian air mata dan
dengan bahasa yang puitis. Tangis karena merasa banyak kekurangan, berarti air
mata karena rasa rindu ingin berjumpa dengan Tuhan. Bagi orang sufi, tangis dan
air mata itu mendapat nilai tertentu sebagai tanda penyesalan diri atas suatu
kesalahan, yakni menyimpang daripada kehendak Tuhan.
Munajat biasanya dilakukan dalam suasana keheningan malam seusai tahajjud
agar segala ekspresinya tertuju bulat ke hadirat ilahi. Pada saat orang
lain tertidur lelap, seorang pencari kebahagiaan yang hakik bangun memenuhi
panggilan cinta dan rindunya kepada Allah untuk membuka dialog dengan-Nya.
Pemusatan jiwa dengan sebulat hati yang diiringi derai air mata membuat suasana
kontemplasi itu seakan ia sedang berhadapan langsung dengan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
2) Muraqabah
dan Muhasabah
Menurut Imam al-Ghazali perkataan muraqabah sama
artinya dengan ihsan. Didalam sebuah hadits dikatakan bahwa “Ihsan adalah
keadaan engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau
tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau.”[5]
Hadits tersebut memberikan isyarat tentang arti dan makna muraqabah.
Karena muraqabah merupakan pengetahuan seseorang bahwa Tuhan selalu
melihat, mengetahui dan mendengar tentang dirinya dan dengan mantapnya
pengetahuan ini berarti ia telah muraqabah kepada Tuhannya.
Muraqabah merupakan pokok pangkal kebaikan; dan hal ini baru bisa dicapai
oleh seseorang apabila sudah mengadakan muhasabah (memperhitungkan)
terhadap amal perbuatannya sendiri. Apabila Ia seseorang yang telah mengadakan
introspeksi terhadap amal perbuatannya, tentulah ia mengetahui tentang
kelebihan dan kekurangannya. Dengan mengetahui kekurangannya lahirlah keinginan
untuk memperbaiki hubungannya dengan Tuhannya. Dengan demikian ingatannya
selalu tertuju pada Allah dan Allah selalu memperhatikan apa yang diperbuatnya
dan mendengar apa yang dikatakannya. Jadilah dia orang yang selalu dekat kepada
Allah Subhanahu Wa Ta’alai.
Jadi, muraqabah merupakan hasil dari
pengetahuan dan pengenalan seseorang terhadap Allah, hukum-hukumNya dan
ancaman-ancamanNya. Apabila sikap muraqabah ini telah berakar kuat dalam jiwa seseorang, seluruh
budi pekertinya menjadi baik. Maka muraqabah seseorang didalam berbuat
taat kepada Allah akan menumbuhkan keikhlasan, dan muraqabah dalam
berbuat maksiat akan menumbuhkan kesadaran untuk bertaubat, menyesal dan
meninggalkan perbuatan maksiat.
Kemudian yang dimaksud dengan muhasabah,
Imam al-Gazali mengatakan: “Hakikat muhasabah ialah selalu memikirkan dan memperhatikan
apa yang telah diperbuat dan yang akan diperbuat; dan muhasabah ini
lahir dari iman dan kepercayaan terhadap hari perhitungan (hari kiamat).” Hal
ini senada dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).”
(QS.Al-Hasyr[59]:18)
Demikianlah sikap muraqabah dan muhasabah
yang merupakan sikap yang sangat dituntut untuk dimiliki oleh setiap orang
yang beriman, yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, dan yang
akan meningkatkan kepekaan rohani dan ketajaman hati, ke tingkat yang lebih
tinggi sehingga betul-betul menjadikannya hidup dalam ketaatan dan terhindar
dari kemaksiatan serta jiwanya penuh dengan rasa ketuhanan, yakni Tuhan terasa
selalu hadir dalam seluruh hidup dan kehidupannya.
3) Memperbanyak
wird dan dzikr
Memperbanyak
wird dan dzikr merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang ingin
mendekatka diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan ini merupakan ciri
khas dari kehidupan seorang sufi. Secara umum Ibrahim Hilal mengatakan: Tasawuf
itu adalah bermacam-macam ibadah, wird dan lapar, berjaga di waktu malam
dengan memperbanyak shalat dan wird, sehingga lemahlah unsur jasmaniah
dalam diri seseorang dan semakin kuatlah unsur rohaniahnya.[6]
Wird
(bentuk jamaknya: awrad)
berarti bacaan-bacaan zikr, doa-doa atau amalan-amalan lain yang
dibiasakan membacanya atau mengamalkannya. Biasanya dzikr, doa atau
amalan tersebut dilakukan setelah shalat, baik shalat wajib maupun shalat
sunnah. Kemudian yang dimaksud dengan dzikr ialah ucapan yang dilakukan
dengan lisan atau mengingat Allah dengan hati, dengan ucapan atau ingatan untuk
mensucikan Tuhan dan membersihkan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak
bagi-Nya, selanjutnya memuji-Nya dengan pujian atas sifat-sifatNya yang
sempurna, sifat-sifat yang menunjukkan kebesaran dan keagungan-Nya.
Didalam
al-Qur’an tidak sedikit ayat yang menyuruh kita mengingat Allah, atau
menganjurkan berdzikr kepada Allah. Diantaranya adalah: “Dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu mendapat kemenangan.”
(QS.Al-Jumu’ah[62]:10), “Laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat
Allah, Allah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(QS.Al-Ahzab[33]:35), “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan
menyebut nama Allah) sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu
pagi dan petang.” (QS.Al-Ahzab[33]:41-42)
4) Mengingat
Mati
Pada
dasarnya manusia diciptakan Allah dengan dibekali dua kecenderungan atau sifat,
sifat yang membawa kepada kebaikan dan sifat yang membawa kepada kejahatan.
Kedua sifat ini tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, karena itulah ia
dinamakan sifat manusiawi. Kemudian Allah menciptakan pula bagi manusia daya
yang disebut usaha dan ikhtiar. Dengan adanya usaha dan ikhtiar inilah
manusia dibebani agar selalu menghindar dari segala yang merusak, yang tidak
dikehendaki Allah.
Dan
Allah memuji orang yang berusaha dan berikhtiar untuk membersihkan
jiwanya, sebagaimana firman-Nya:
قَدۡ
أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu dan sesungguhnya merugilah orang
yang mengotorinya.” (QS.Asy-syams[91]:9-10).
Tetapi tidak semua orang mempergunakan
kemampuan yang diberikan Allah tersebut untuk membersihkan jiwanya, karena itu
tidaklah jarang manysia hidup dalam kekotoran dan kemaksiatan.
Untuk
membangkitkan kesadaran manusia terhadap tugas dan kewajibannya di dunia, maka
salah satu cara atau metode yang dipergunakan orang sufi ialah agar orang
selalu mengingat mati. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Banyak-banyaklah kamu mengingat kejadian yang akan
menghancurkan segala kelezatan (mati)”, “Banyak-banyaklah kamu mengingat
mati, karena sesungguhnya mengingat mati itu dapat menghapus beberapa dosa dan
membuat orang bersikap zuhd terhadap dunia”. Sepandai-pandai manusia adalah
orang yang terbanyak ingatannya kepada kematian, dan yang terbanyak
persiapannya untuk menerimanya.
Dengan
ingat kepada mati, manusia akan giat beramal dan sebaliknya, apabila manusia
lupa kepada mati maka lupalah ia kepada hari akhirat, tempat kembali seluruh
umat manusia. Padahal kematian bisa datang kapan saja, disaat tua maupun muda,
sehat maupun sakit, dan tanpa memperdulikan kita siap ataukah tidak. Dalam hal
ini Allah berfirman: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.”
(QS.Ali-Imran[3]:185), “Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak
dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).”
(QS.Yunus[10]:49), “Katakanlah: sesungguhnya kematian yang kamu lari
daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu
akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata,
lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”
(QS.Al-Jumu’ah[62]:8).
Oleh
karena itu, ingat kepada kematian –kapan dan dimana pun- adalah satu hal yang
snagat penting. Orang sufi berkeyakinan bahwa ingat akan mati dan hidup kembali
di akhirat termasuk rangkaian aktivitas rohani yang perlu dibina. Setiap saat
otang perlu menyadari kematian, sebab dengan melekatnya ingatan pada mati, akan
menimbulkan rangsangan untuk mempersiapkan diri menghadapinya. Hingga orang
yang selalu ingat mati akan merasa takut, dan rasa takut itulah yang
mendorongnya untuk bertaubat.
5) Tafakkur
Kata
tafakkur (bahasa Arab) berasal dari kata kerja (fi’il) tafakkara,
yang berarti berpikir, memikirkan, merenungkan atau meditasi. Dalam Islam, tafakkur
(meditasi) dibesarkan atas ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan kepada mereka
yang diberkahi pengetahuan dan dituntut untuk merenungkan tanda-tanda
(fenomena-fenomena) alam. Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari
siksa neraka.” (QS.Ali-Imran[3]:190-191).
Menurut
ajaran Islam, sebagaimana yang diterangkan dalam a;-Qur’an bahwa dengan
memikirkan dan merenungkan kejadian alam dengan segala fenomenanya ini dapat
dijadikan sebagai tanda adanya sang Pencipta yang Maha Agung dan Bijaksana,
yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Didalam konsep kaum sufi, tafakkur tidak
hanya sekedar untuk mengetahui dan menetapkan adanya Tuhan, tetapi lebih dari
itu ia ingin mencari nilai dan rahasia dari duatu obyek yang sedang dipikirkan
dan direnungkan sebagai makhluk yang diciptakan Allah tanpa sia-sia. Karena
menurut mereka (kaum sufi) tafakkur merupakan suatu jalan untuk
memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dalam arti yang hakiki.
2. Tasawuf
‘amali
Yaitu tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan
beribadah, tujuannya agar diperoleh penghayatan spiritual dalam setap melakukan
ibadah.
Tasawuf amali merupakan
lanjutan dari tasawuf akhlaki, karena seseorang tidak bisa dekat dengan
Tuhan dengan amalan yang ia kerjakan sebelum ia membersihkan jiwanya. Jiwa yang
bersih merupakan syarat utama untuk bisa kembali kepada Allah, karena Dia adalah
dzat yang bersih dan suci; dan hanya menginginkan/menerima orang-orang yang
suci. Dalam pengamalan ajaran tasawuf, ada beberapa istilah praktis yang perlu
dijelaskan. Hal ini merupakan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan ajaran
tasawuf sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Apabila dilihat dari sudut
amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, maka terdapat beberapa istilah yang
khas dalam ilmu tasawuf. Orang sufi membagi ajaran agam kepada ilmu lahir dan
ilmu batin, yakni ajaran agama itu ada yang mengandung arti lahiriah dan arti
batiniah. Oleh karena itu cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui
aspek lahir dan aspek batin. Kedua aspel yang terkandung dalam ilmu agama
tersebut meraka bagi menjadi empat kelompok, yaitu:
a. Syari’ah
Syari’ah artinya undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan
termasuk didalamnya hukum-hukum Islam. Syariah dipandang oleh kaum sufi
sebagai ajaran Islam yang bersifat lahir (eksoterik). Karena itu,
mengerjakan syari’ah berarti mengerjakan amalam-amalan yang lahir
(badaniah) dari ajaran atau hukum agama, seperti shalat, zakat, puasa, haji,
berjihad dijalan Allah dan lain sebagainya.
Orang-orang sufi mengartikan syari’ah sebagai
amalan-amalan lahir yang difardukan dalam agama, yang biasa dikenal dengan Rukun
Islam; dan segala hal yang berhubungan dengan itu, yang bersumber dari
al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, bagi seorang yang ingin memasuki dunia
tasawuf harus lebih dahulu mengetahui secara mendalam tentang isi ajaran
al-Qur’an dan al-Hadits yang dimulai dengan amalan lahir, baik yang wajib
maupun yang sunnah.
b. Tariqah
Dalam melaksanakan syari’ah tersebut
diatas haruslah berdasarkan tata cara yang telah digariskan dalam agama dan
dilakukan hanya karena penghamban diri kepada Allah, karena kecintaan kepada
Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya. Perjalanan menuju kepada Allah
itulah yang mereka maksud dengan tariqah, atau tariqah tasawuf.
Perjalanan ini sudah mulai bersifat batiniah, yaitu amalan lahir yang disertai
amalan batin.
Menurut keyakinan sufi, orang tidak akan sampai
kepada hakikat tujuan ibadah sebelum menempuh jalan ke arah itu. Jalan itu
dinamakan tariqah, dalam bahasa kita diucapkan tarekat atau suluk, dan
orang yang melakukan itu dinamakan ahli tariqah atau salik.[7] Untuk
itu maka ditetapkanlah ketentuan-ketentuan yang bersifat batiniah agar
pelaksanaan ketentuan-ketentuan lahiriah itu dapat mengantarkan seseorang
kepada akhir perjalanannya yaitu melalui tahap demi tahap dan situasi demi
situasi, yang kemudian dikenal dengan istilah maqamat dan ahwal.
Menurut kaum sufi, kehidupan di alam ini penuh
dengan rahasia-rahasia. Rahasia-rahasia itu tertutup oleh dinding-dinding,
yaitu hawa nafsu. Tetapu rahasia itu mungkin terbuka dan dinding (hijab)
itu mungkin tersingkap dan kita dapat melihat atau berhubungan langsung dengan
rahasia tersebut, asal kita mau menempuh jalannya. Jalan itulah yang dinamakan tariqah.
Dalam menempuh jalan (tariqah) untuk membuka rahasia dan menyingkap
dinding tersebut kaum sufi mengadakan kegiatan batin, riyadah (latihan)
dan mujahadah (perjuangan) rohani yang cukup panjang. Jadi jelaslah
bahwa tariqah itu ialah suatu sistem atau metode untuk mengenal dan
merasakan adanya Tuhan, yakni sesorang dapat melihat Tuhannya dengan mata
hatinya.
c. Haqiqah
Secara etimologi haqiqah
berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal dari sesuatu. Dalam dunia
sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari’ah yang
bersifat lahiriah, yaitu aspek batiniah. Dengan demikian dapat diartikan
sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syari’ah dan
akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.
Haqiqah juga
dapat berarti kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua perjalanan,
tujuan segala jalan. Tariqah dan haqiqah tak dapat dipisahkan, bahkan sambung menyambung
antara satu dengan yang lain. Pelaksanaan ajaran Islam tidak sempurna, jika
tidak dikerjakan secara integratif tentang empat hal, yaitu syari’ah, tariqah,
haqiqah dan ma’rifah. Maka apabila syari’ah merupakan
peraturan, tariqah merupakan pelaksanaan, haqiqah merupakan
keadaan, maka ma’rifah merupakan tujuan, yakni pengenalan Tuhan yang
sebenar-benarnya.
d. Ma’rifah
Secara etimologi, ma’rifah
berarti pengetahuan atau pengenalan. Sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah
itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalb).
Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu
dengan yang diketahuinya itu.
Pada prinsipnya dalam ilmu
tasawuf, yang dimaksud dengan ma’rifah ialah mengenal Allah (ma’rifatullah).
Dan ini merupakan ‘tujuan utama’ dalam ilmu tasawuf, yakni mengenal Allah
dengan sebenar-benarnya. Dalam hubungan ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّنِيٓ
أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِي وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ
لِذِكۡرِيٓ ١٤
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak
ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat
Aku.” (QS.Taaha[20]:14)
Menurut orang sufi, ma’rifah adalah
sifat orang yang mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah. Sebagai bukti
pengenalannya ialah ketaatannya kepada-Nya dengan menjalankan amal shalih dan
meninggalkan perbuatan yang tercela; selalu ingat kepada-Nya. Dengan demikian Allah
akan mencintainya dan memberinya karunia, taufik dan hidayah sehingga ia tidak
dapat dipalingkan oleh siapapun ke arah yang tidak diridhai-Nya.
3. Tasawuf
falsafi
Yaitu tasawuf yang menekankan pada
masalah-masalah filsafat dan metafisika. Tasawuf ini disebut juga irfani (yang
bersifat pengetahuan batin).
Tasawuf falsafi ialah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Berbeda dengan
tasawuf akhlaki dan tasawuf amali –yang masih berada dalam lingkungan tasawuf
suni seperti tasawufnya al-Gazali–, tasawuf falsafi menggunakan terminologi
falsafi dalam pengungkapan ajarannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokoh-tokohnya.
Ciri umum tasawuf falsafi ialah kesamaran-kesamaran ajarannya,
akibatnya banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami
oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Selanjutnya tasawuf falsafi
ini tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (zauq), dan sebaliknya, tidak pula bisa
dikategorikan pada tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya
sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih cenderung kepada panteisme.
[3] IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu
Tasawuf, hlm.20
[4] Imam
al-Gazali, Mukasyafah al-Qulub, Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Cairo, t.t.,
hlm. 13.
[5] Muslim,
Saheh Muslim bi Syarhi Al-Nawawi, I, al-maktabah al-Misriah, Cairo, t.t.,
hlm.157.
[6] Ibrahim
Hilal, Al-Tasawuf al-Islami Baina al-din wa al-Falsafah, Dar Nahdiah
al-‘Arabiah, Cairo, 1979, hlm.1.
[7] Aboebakar
Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1984,
hlm.63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar