Senin, 30 Mei 2016

Tasawuf dalam Islam



Tasawuf dalam Islam
Banyak pendapat yang pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah.[1] Dan orang-orang Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf. Sementara itu, orang yang penganut paham tersebut disebut orang sufi.
Sebagian pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari zaman Nabi Muhammad SAW. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan diatas. Mereka dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari pengetahuan Nabi Muhammad.
Pendapat lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan Al-Bashri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.[2]
Pada dasarnya sejarah awal perkembangan tasawuf, adalah sudah ada sejak zaman kehidupan Nabi saw. Hal ini dapat dilihat bagaimana peristiwa dan prilaku kehidupan Nabi saw. sebelum diangkat menjadi rasul. Beliau berhari-hari pernah berkhalwat di Gua Hira’, terutama pada bulan ramadlan. Disana Nabi saw lebih banyak berdzikir dan bertafakkur dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Pengasingan diri Nabi saw. di Gua Hira’ inilah yang merupakan acuan utama para sufi dalam melakukan khalwat. Dalam aspek lain dari sisi prikehidupan Nabi saw. adalah diyakini merupakan benih-benih timbulnya tasawuf, dimana  dalam kehidupan sehari-hari Nabi saw. sangatlah sederhana, zuhud dan tak pernah terpesona oleh kemewahan duniawi. Hal itu di kuatkan oleh salah satu do’a Nabi saw, beliau pernah bermohon yang artinya: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin”. (HR. al-Tirmizi, Ibn Majah, dan al-Hakim).
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya (periode kedua setelah periode Nabi saw.) ialah periode tasawuf pada masa “Khulafaurrasyidin” yakni masa kehidupan empat sahabat besar setelah Nabi saw. yaitu pada masa Abu Bakar al-Siddiq, Umar ibn al-Khattab, Usman ibn Affan, dan masa Ali ibn Abi Thalib. Kehidupan para khulafaurrasyidin tersebut selalu dijadikan acuan oleh para sufi, karena para sahabat diyakini sebagai murid langsung Nabi saw. dalam segala perbuatan dan ucapan mereka jelas senantiasa mengikuti tata cara kehidupan Nabi saw.  terutama yang bertalian dengan keteguhan imannya, ketaqwaannya, kezuhudan, budi pekerti luhur dan yang lainnya.Salah satu contoh sahabat yang dianggap mempunyai kemiripan hidup seperti Nabi saw. adalah sahabat Umar Ibn al-Khattab, beliau terkenal dengan keheningan jiwa dan kebersihan kalbunya, ia terkenal kezuhudan dan kesederhanaannya. Diriwayatkan pernah suatu ketika setelah  ia menjabat sebagai khalifah (Amirul Mukminin), ia berpidato dengan memakai baju bertambal dua belas sobekan.
Selain mengacu pada kehidupan keempat khalifah di atas, para ahli sufi juga merujuk pada kehidupan para “Ahlus Suffah” yaitu para sahabat Nabi saw. yang tinggal di masjid nabawi di Madinah dalam keadaan serba miskin namun senantiasa teguh dalam memegang akidah dan selalu mendekatkan diri kepada Allah Swt. Diantara para Ahlus Suffah itu ialah,sahabat Abu Hurairah, Abu Zar al-Ghiffari, Salman al-Farisi, Muadz bin Jabal, Imran bin Husain, Abu Ubaidah bin Jarrah, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas dan Huzaifah bin Yaman dan lain-lain.
Perkembangan tasawuf selanjutnya adalah masuk pada periode generasi setelah sahabat yakni pada masa kehidupan para “Tabi’in (sekitar abad ke-1 dan abad ke-2 Hijriyah), pada periode ini munculah kelompok(gerakan) tasawuf yang memisahkan diri terhadap konflik-konflik politik yang di lancarkan oleh dinasti bani Umayyah yang sedang berkuasa guna menumpas lawan-lawan politiknya. Gerakan tasawuf tersebut diberi nama “Tawwabun” (kaum Tawwabin), yaitu mereka yang membersihkan diri dari apa yang pernah mereka lakukan dan yang telah mereka dukung atas kasus terbunuhnya Imam Husain bin Ali di Karbala oleh pasukan Muawiyyah, dan mereka bertaubat dengan cara mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaum Tawwabin ini dipimpin oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang ahir kehidupannya terbunuh di Kuffah pada tahun 68 H.
Sejarah perkembangan tasawuf berikutnya adalah memasuki abad ke-3 dan abad ke-4 Hijriyah. Pada masa ini terdapat dua kecenderungan para tokoh tasawuf. Pertama, cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlak yang di dasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang biasa di sebut dengan “Tasawuf Sunni” dengan tokoh-tokoh terkenalnya seperti : Haris al-Muhasibi (Basrah), Imam al-Ghazali, Sirri as-Saqafi, Abu Ali ar-Ruzbani dan lain-lain.Kelompok kedua, adalah yang cenderung pada kajian tasawuf  filsafat, dikatakan demikian karena tasawuf telah berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Adapun tokoh-tokoh tasawuf filsafat yang terkenal pada saat itu diantaranya: Abu Yazid al-Bustami (W.260 H.) dengan konsep tasawuf filsafatnya yang terkenal yakni tentang “Fana dan Baqa” (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi), serta “Ittihad” (Bersatunya hamba dengan Tuhan). Adapun puncak perkembangan tasawuf filsafat pada abad ke-3 dan abad ke-4, adalah pada masa Husain bin Mansur al-Hallaj (244-309 H ), ia merupakan tokoh yang dianggap paling kontroversial dalam sejarah tasawuf, sehingga ahirnya harus menemui ajalnya di taing gantungan.
Periode sejarah perkembangan tasawuf pada abad ke-5 Hijriyah terutama tasawuf filsafat telah mengalami kemunduran  luar biasa, hal itu akibat meninggalnya al-Hallaj sebagai tokoh utamanya. Dan pada periode ini perkembangan sejarah tasawuf sunni mengalami kejayaan pesat, hal itu ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh tasawuf sunni seperti, Abu Ismail Abdullah bin Muhammad al-Ansari al-Harawi (396-481 H.), seorang penentang tasawuf filsafat yang paling keras yang telah disebarluaskan oleh al-Bustani dan al-Hallaj. Dan puncak kecemerlangan tasawuf suni ini adalah  pada masa al-Ghazali, yang karena keluasan ilmu dan kedudukannya yang tinggi, hingga ia mendapatkan suatu gelar kehormatan sebagai “Hujjatul Islam”.
Sejarah perkembangan tasawuf selanjutnya adalah memasuki periode abad ke-7, dimana tasawuf  filsafat mengalami kemajuan kembali yang dimunculkan oleh tokoh terkenal yakni Ibnu Arabi. Ibnu Arabi telah berhasil menemukan teori baru dalam bidang tasawuf filsafat yakni tenyang “Wahdatul Wujud”, yang banyak diikuti oleh tokoh-tokoh lainnya seperti Ibnu Sab’in, Jalaluddin  ar-Rumi dan sebagainya. Kecuali itu pada abad ke-6 dan abad ke-7 ini pula muncul beberapa aliran tasawuf amali, yang ditandai lahirnya beberapa tokoh tarikat besar seperti: Tarikat Qadiriyah oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di Bagdad (470-561 H.), Tarikat Rifa’iyah yang didirikan oleh Ahmad bin Ali Abul Abbas ar-Rifa’I di Irak (W.578 H.) dan sebagainya. Dan sesudah abad ke-7 inilah tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa ide tersendiri dalam hal pengetahuan tasawuf, kalau toh ada hal itu hanyalah sebagai seorang pengembang ide para tokoh pendahulunya.
Tasawuf memiliki banyak pengertian sesuai dengan asal  -usul kata tersebut antara lain:
1.       Shafa atau suci ,disebut shafa atau suci karena kesucian batin sufi dan kebersihan tindakannya.
2.       Shaff atau barisan, karena para sufi memiliki iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan senantiasa memilih barisan terdepan dalam sholat berjamaah.
3.       Shaufanah, yakni sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di padang pasir jazirah arabiya. Nama ini digunakan karena banyak sufi memakai pakaian berbulu yang terbuat dari bulu domba kasar.
4.       Shuffah atau serambi tempat duduk, yakni shuffah masjid nabawi dimadinah yang disediakan bagi para tunawisma dan kalangan muhajirin dimasa Rasulullah saw. Para tunawisma tersebut biasa dipanggil ahli shuffah atau pemilik serambi karena di serambi masjid itulah meraka bernaung.
5.       Shafwah atau yang terpilih atau yang terbaik, sufi adalah orang yang terpilih diantara hamba-hamba Allah swt karena ketulusan amal mereka kepada-Nya.
6.       Theosophi (Yunani:theo=Tuhan;shopos=hikmah) yang berarti hikmah atau kearifan  ketuhanan.
7.       Shuf atau bulu domba, karena para sufi biasa memakai pakaian dari buluj domba yang kasar, sebagai lambang kerendahan hati, untuk menghindari sikap sombong disamping untuk menenangkan jiwa, serta meninggalkan usaha-usaha yang bersifat duniawi.
Syuhrawardi mengatakan bahwa mereka berkumpul di masjid madinah, seperti halnya orang sufi berkumpul di zawiyah dan ribath. Merekab tidak tergerak untuk berusaha mencari nafkah dan kebutuhan hidup. Rosulullah sendiri menolong orang banyak untuk memperhatikan dan memberi bantuan kepada mereka.
Jurji Zaidan berkeyakinan pula bahwa ada hubungan kata arabصوفيّ  ini dengan kata yunani ”shofiya” yang artinya kebijaksanaan.
Sedemikian pelik pengertian tasawuf, sehingga para sufi, yaitu mereka yang menjalankan tasawuf tidak sepakat dalam mengartikannya. Para sufi mengemukakan pengertian mereka sesuai dengan pengalaman mereka masing-masing.
Beberapa pengertian yang berkembang dan sering dipakai sebagai acuan berasal dari Al-Junaid Al-Baghdadi (w.297/910), bapak tasawuf moderat . Ia mendefinisikan tasawuf sebagai keberadaan bersama Allah swt, tanpa adanya penghalang. Baginya, tasawuf berarti membersihkan hati dari sifat yang menyamai binatang, menekan sifat basyariyah (kemanusiaan) , menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat kerohanian, berpegangan pada ilmu kebenaran, memberi nasihat kepada umat, benr\ar-benar menepati janji kepada Allah swt. Dan mengikuti syariat Rasulullah.
Abu Al-Qasim Al-Husyairi (w.465 H/1073 M) menyebutkan bahwa tasawuf sebagai ajaran yang menjabarkan Al-Qur’an dan Sunah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringankan ibadah. Abu Muhammad Ruwain bin Ahmad (w.303 H/916 M)  mengatakan bahwa tasawuf sebagai kemerdekaan jiwa bersama Allah atas apa yang dikehendaki-Nya. Bisyr bin Hans Al-Hafi (w.227 H/842 M) mengatakan: sufi adalah orang yang berjiwa suci yang menghadap Allah swt. Adapun Muhammad Al-Juraira (w.311 H/924 M) menyebutkan bahwa tasawuf berarti masuk dalam akhlak mulia dan keluar dari akhlak rendah.
Sementara itu, Abu Yazid Al- Bustami (w.261 H/875 M), pencetus teori fana baqa dan ittihad dalam tasawuf mengemukakan bahwa tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu kha’, ha’, dan jim. Kha’ maksudnya takhalli berarti mengosongkan diri dari perangai yang tercela;ha’ maksudnya tahalli berarti menghiasi diri dengan akhlak terpuji, dan jim maksudnya tajalli, berarti mengalami kenyataa ketuhanan. Makruf Al-Karkhi (w. 200 H/816 M), guru Al-Junaid, menyebut tasawuf sebagai ketidakpedulian terhadap kenyataan danmengabaikan apa yang ada di tangan makhluk. Katanya, siapa yang tidak sanggup merealisasikan kefakiran, niscaya dia tidak sanggup merealisasikan tasawuf.
Pengertian  yang hampir sama di kemukakan juga oleh Zhunnun Al-Mishri (w. 334 H/946 M). Adapun Al-Hallaj (w.309 H/922 M), sufi pembawa doktrin al-hullul, menekankan tasawuf sebagai keesaan zat yang tidak menerima seseorang dan seseorang tidak pula dapat menerimanya. Ibnu Arabi (w. 638 H/1241 M) yang dikenal sebagai tokoh doktrin wahdatul-wujud menekankan tasawuf sebagai berakhlak sesuai dengan akhlak Allah swt.
Dan beberapa pengertian yang dikemukakan di atas, Zakaria Al-Anshari (852-925 H/1448-1519 M), seorang penulis tasawuf, meringkas tasawuf sebagai cara menyucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri, dan tujuan akhirnya adalah kebahagiaan dan keselamatan.
Selain itu, Ibrahim Basyuni, sarjana muslim berkebangsaan mesir, setelah mengemukakan 40 definisi tasawuf, termasuk beberafa definisi yang telah dikemukakan di atas, mengategorikan pengertian tasawuf pada tiga hal:
1.       Kategori al-bidayah, yaitu pengertian tasawuf pada tingkat permulaan. Kategori ini, seperti di kemukakan Ma’ruf Al-Karkhi di atas, menekankan kecenderungan jiwa dan kerinduannya secara fitrah kepada Yang Maha Mutlak, sehingga oprang senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada Allah swt. Kecenderungan jiwa seperti ini menurutnya dimiliki oleh setiap manusia. Dalam fitrah inilah manusia berbeda dengan binatang.
2.       Kategori al-mujahadah, yaitu pengertian tasawuf pada pengalaman yang di dasarkan pada kesungguhan. Pengertian in misalnya, di berikan oleh Al-Jurairi dan Al-Qusyairi yang lebih menonjolkan akhlak dan amal dalam pendekatan diri kepada Allah swt.
3.       Kategori al-mudzaqat, yakni pengertian tasawuf pada pengalaman batin dan perasaan keberagamaan, terutama dalam mendekati Zat Yang Mutlak.
Dari ketiga pengertian umum tasawuf tersebut, Basyuni menyimpulkan bahwa tasawuf adalah kesadaran murni yang mengerahkan jiwa secara benar kepada amal dan aktifitas yang sungguh-sungguh dan menjauhkan diri dari keduniaan dalam mendekatkan diri kepada Allah swt. Untuk mendapatkan perasaan dalam berhubungan dengan-Nya.
Tasawuf, sebagai bagian dari ilmu, di definisikan oleh Muhammad Amin Al-Kurdy. Tasawuf adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal-hal yang terkait dengan kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara  melakukan suluk, melangkah menuju keridhoan Allah dan meninggalkan laranganNya. Serta mengerjakan semua yang diperintahkanNya. Orang sufi, menurut Al-Kurdy, ialah orang yang hatinya jernih, terhindar dari kehidupan buruk, dan senantiasa terisi oleh nur Ilahi, sehingga kemurnian hatinya bagaikan emas.
Ajaran pokok tasawuf berkisar mengenai proses penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah SWT. Proses ini sangat panjang dan melalui banyak tahapan disebut dengan “maqamat”. Sedikitnya ada tujuh maqamat yang harus dilalui oleh seorang sufi agar dapat berdekatan dengan Allah SWT . Ketujuh maqamat yang harus dilalui yaitu : Taubat, Zuhud , Sabar ,Tawakal, Ridha, Mahabbah(Cinta), dan Makrifat.
Meskipun ada perbedaan pendapat mengenai pengertian tasawuf menurut para sufi dan para pengamat, tetapi ada dua hal pokok tentang tasawuf yang disepakati semua pihak yaitu : Pertama , Kesucian jiwa untuk menghadapa Allah sebagai Zat Yang Maha suci. Kedua , upaya pendekatan diri secara individual kepada-Nya. Jadi, pada intinya tasawuf adalah usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah sehingga kehadiran Allah dirasakan secara sadar dalam kehidupan.
Kedua pokok tasawuf itu, mengacu pada pesan dalam Al-Qur’an
 قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”(Q.S Asy-Syams/91 : 9-10)
Bertolak dari kandungan ayat ini, kaum sufi lebih menekankan introspeksi diri daripada memperhatikan orang lain. Semboyan mereka :”Hiasilah dirimu denga sifat-sifat terpuji!”. Maksudnya , hendaklah manusia senantiasa menyadari noda-noda dirinya, supaya ia tidak berhenti menyucikannya.
Jadi, pada dasarnya mengamalkan tasawuf berarti mendekatkan diri kepada Allah SWT. Akan tetapi, upaya demikian tidaklah akan mencapai hasil kalau tidak diawali dengan yang suci pula. Dengan demikian, menyucikan jiwa merupakan hal yang pokok dalam tasawuf. Penyucian jiwa itu berdampak pada kedamaian, kebahagiaan, dan kesejukan kalbu. Allah SWT berfirman:
 قَدۡ أَفۡلَحَ مَن تَزَكَّىٰ ١٤  وَذَكَرَ ٱسۡمَ رَبِّهِۦ فَصَلَّىٰ ١٥
Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman. Dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia sembahyang” (Q.S Al-A’la/87 : 14-153. 
3. Sumber Tasawuf
Di kalangan para orientalis Barat biasanya dijumpai pendapat yang mengatakan bahwa sumber yang membentuk tasawuf itu ada lima, yaitu unsur Islam, unsur Masehi (Agama Nasrani), Unsur Yunani, Unsur Hindu/Budha, dan Unsur Persia. Kelima unsur ini secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.    Unsur Islam
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiah, dan kehidupan yang bersifat batiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat batiniah itulah kemudian tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sumber ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah) (qs. Al-Maidah (5) ayat 54), perintah agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri memohon ampunan kepada Allah (qs. Tahrim ayat 8), petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan di manapun mereka berada. (qs. Al-Baqarah(2) ayat 110), Tuhan dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakinya (qs. An-Nur, 35). Selanjutnya al-Qur’an mengingatkan manusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan dunia dan harta benda (qs. Al-Hadid, al-Fathir, 5), dan senantiasa bersikap sabar dalam menjalani pendekatan diri kepada Allah SWT. (QS. Ali Imran, 3)
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an di atas, al-Sunnah pun bnyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini beberapa teks hadits yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf.
كُنْتُ كَنْزًا مَخْفِيّاً فَاَحْبَيْتُ اَنْ اُعْرِفَ فَخَلَقْتُ الْخَلْقَ فَبِى عَرَفُونِي
“Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
Hadits tersebut memberikan petunjuk bahwa alam raya, termasuk kita ini adalah merupakan cermin Tuhan, atau bayangan Tuhan. Tuhan ingin mengenal dirinya melalui penciptaan ala mini. Dengan demikian dalam alam raya ini terdapat potensi ketuhanan yang dapat didayagunakan untuk mengenal-Ny. Dari apa yang ada di alam raya ini pda akhirnya akan kembali kepada Tuhan.
Hadits berikut menyatakan:
لايزال العبد يتقرب الي با النوافل حتى احبه فاذا احببته كنت سمعه الذي يسمع ؤبصره الذى يبصربه ولسا نه الذى ينطق به ويده الذي يبطش بها ورجله الذي يمش بها فبى يسمع فبى يبصر وبى ينطق وبى يعقل وبى يبطش وبى يمش
“Senantiasalah seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang dia pakai untuk berusaha; maka dengan Ku-lah dia mendengar, melihat, berpikir, berbicara, meninju dan berjalan.”
Hadits tersebut di atas memberi petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan bisa bersatu. Diri manusia bisa lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’, yaitu fananya makhluk sebagai yang mencintai kepada diri Tuhan sebagai yang dicintai.
Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi. Nabi Muhammad telah melakukan pengasingan diri ke Gua Hira’ menjelang datangnya wahyu. Dia menjauhi pola hidup kebendaan di mana waktu itu orang Arab terbenam di dalamnya, seperti dalam praktek perdagangan yang menggunakan segala cara yang menghalalkan.
2.         Unsur Luar Islam
Dalam berbagai literatur yang ditulis para orientalis Barat sering dijumpai uraian yang menjelaskan bahwa tasawuf Islam dipengaruhi oleh adanya unsur agama masehi, unsur Yunani, unsur Hindu/Budha dan unsur Persia. Hal ini secara akademik bisa saja diterima, namun secara akidah perlu kehati-hatian. Para orientalis Barat menyimpulkan bahwa adanya unsure luar Islam masuk ke dalam tasawuf itu desababkan karena secara historis agama-agama tersebut telah ada sebelum Islam, bahkan banyak dikenal oleh masyarakat Arab yang kemudian masuk Islam. Akan tetapi kita dapat mengatakan bahwa boleh saja orang Arab terpengaruh oleh agama-agama tersebut, namun tidak secara otomatis mempengaruhi kehidupan tasawuf, karena para penyusun ilmu tasawuf atau orang yang kelak menjadi sufi itu bukan berasal dari mereka itu. Dengan demikian adanya unsur luar Islam yang mempengaruhi tasawuf Islam itu merupakan masalah akademik bukan masalah akidah Islamiah. karenanya boleh diterima dengan sikap yang sangat kritis dan obyektif. Kita mengetahui bahwa Islam sebagai agama universal yang dapat bersentuhan dengan berbagai lingkungan sosial. Dengan sangat selektif Islam bisa beresonansi dengan berbagai unsure ajaran sufistik yang terdapat dalam berbagai ajaran tersebut. Dalam hubungan ini maka Islam termasuk ajaran tasawufnya dapat bersentuhan atau memiliki kemiripan dengan ajaran tasawuf yang bersal dari luar Islam itu.
Unsur-unsur luar Islam yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam itu selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
3.   Unsur Masehi
Orang Arab sangat menyukai cara kependetaan, khususnya dalam hal latihan jiwa dan ibadah. Atas dasar ini tidak mengherankan jika Von Kromyer berpendapat bahwa tasawuf adalah buah dari unsur agamaNasrani yang terdapat pada zaman Jahiliyah. Hal ini diperkuat pula oleh Gold Ziheryng mengatakan bahwa pakaian wol kasar yang kelak digunakan para sufi sebagai lambing kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh para pendeta. Sedangkan Nicholson mengatakan bahwa istilah-istilah tasawuf itu berasal dari agama Nasrani, dan bahkan ada yang berpendapat bahwa aliran tasawuf berasal dari agama Nasrani.
Unsur-unsur tasawuf yang diduga mempengaruhi tasawuf Islam adalah sikap fakir. Menurut keyakinan Nasrani bahwa Isa bin Maryam adalah seorang yang kafir, dan Injil juga disampaikan kepada orang fakir. Isa berkata: “beruntunglah kamu orang-orang miskin, karena bagi kamulah kerajaan Allah. Beruntunglah kamu orang yang lapar, karena kamu akan kenyang. “Selanjutnya adalah sikap tawakkal kepada Allah dalam soal penghidupan terlihatpada, peranan syaikh yang menyerupai pendeta, bedanya pendeta dapat menghapus dosa; selibasi, yaitu menahan diri tidak kawin karena kawin dianggap dapat mengalihkan perhatian diri dari Khalik, dan penyaksian, di mana sufi dapat menyaksikan hakekat Allah dan mengadakan hubungan dengan Allah.[3]
4.    Unsur Yunani
Kebudayaan Yunani yaitu filsafatnya telah masuk pada dunia di mana perkembangannya dimulai pada akhir Daulah Umayyah dan puncaknya pada Daulah Abbasiyah, metode berpikir filsafat Yunani ini juga telah ikut mempengaruhi pola berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dngan Tuhan. Kalau pada bagian uraian dimulai perkembangan tasawuf ini baru dalam taraf amaliah (akhlak) dalam pengaruh filsafat Yunani ini maka uraian-uraian tentang tasawuf itu pun telah berubah menjadi tasawuf filsafat. Hal ini dapat dilihat dari pikiran al-Farabi’, al-Kindi, Ibn Sina teruma dalam uraian mereka tentang filsafat jiwa. Demikian juga pada uraian-uraian tasawuf dari Abu Yazid, al-Hallaj, Ibn Arabi, Suhrawardi dan lain-lain sebagainya.
Apabila diperhatikan memang cara kerja dari filsafat itu adalah segala sesuatu diukur menurut akal pikiran. Tetapi dengan munculnya filsafat liran Neo Platonis menggambarkan, bahwa hakekat yang tertinggi hanya dapat dicapai lewat yang diletakkan Allah pada hati setiap hamba setelah seseorang itu membersihkan dirinya dari pengaruh materi. Ungkapan Neo Platonis: “Kenallah dirimu dengan dirimu” diambil oleh para sufi dan di antara sufi berkata: “Siapa yang mengenal dirinya, maka dia mengenal Tuhannya”. Hal ini semua mengarah kepada munculnya teori Hulul, Wihdah Ash-Syuhud, dan Wihdah al-Wujud. Tidak syah lagi bagi kelompok Neo Shopi (Sufi berketuhanan dan filosof) seperti Ibn Arabi, Ibn al-Farabi, al-Hallaj, ditemukan pengaruh nyata filsafat dalam cara berpikir mereka.
5.       Unsur Hindu/Budha
Antara tasawuf dan sistem kepercayaan agama Hindu dapat dilihat adanya hubungan seperti sikap fakir, darwisy. Al-Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu. Kemudian pula paham reinkarnasi (perpindahan roh dari satu badan ke badan yang lain), cara kelepasan dari dunia versi Hindu/Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Salah satu maqomat Sufiah al-Fana tampaknya ada persamaan dengan ajaran tentang Nirwana dalam agama Hindu. Gold Ziher mengatakan bahwa ada hubungan persamaan antara tokoh Sidharta Gautama dengan Ibrahin bin Adam tokoh sufi.
Menurut Qomar Kailani pendapat-pendapat ini terlalu ekstrim sekali karena kalau diterima bahwa ajaran tasawuf itu berasal dai Hindu/Budha berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang ajaran Hindu/Budha itu ke Mekkah, padahal sepanjang sejarah belum ada kesimpulan seperti itu.
6.      Unsur Persia
Sebenarnya antara Arab dan Persia itu sudah ada hubungan semenjak lama yaitu hubungan dalam bidang politik, pemikiran kemasyarakatan dan sastra. Akan tetapi belum ditemukan dalil yang kuat yang menyatakan bahwa kehidupan rohani Persia telah masuk ke tanah Arab. Yang jelas adalah kehidupan kerohanian Arab masuk ke Persia itu terjadi melalui ahli-ahli tasawuf di dunia ini. Namun barangkali ada persamaan antara istilah zuhd di Arab dengan zuhd menurut agama Manu dan Mandaq dan hakikat Muhammad menyerupai paham Harmuz (Tuhan kebaikan) dalam agama Zarathustra.
Dari semua uraian ini dapatlah disimpulkan bahwa sebenarnya tasawuf ini bersumber dari ajaran Islam itu sendiri mengingat yang dipraktekkan Nabi dan para sahabat. Hal ini dapat dilihat dari azas-azasnya. Semuanya berlandaskan kepada al-Qur’an dan Sunnah akan tetapi tidak dipungkiri bahwa setelah tasawuf itu berkembang menjadi pemikiran dia mendapa pengaruh dari filsafat Yunani, Hindu Persia dan lain sebagainya, dan hal itu tidak hanya terjadi dalam bidang tasawuf saja melainkan juga dalam bidang lainnya.
Jika jalan pemikiran tersebut digunakan untuk melihat ajaran tasawuf, maka dapat kita katakana, bahwa ajaran tasawuf itu sama kedudukannya dengan ajaran lainnya dalam Islam, seperti teologi, fiqh, dan lain sebagainya. Ajaran tasawuf bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah yang penggarapannya memerlukan bantuan pemikiran yang sehat, lurus dan tidak keluar dari semangat ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri, yaitu pemikiran yang tidak sampai mengingkari adanya Tuhan dan kerasulan Muhammad, tidak sampai menentang rukun iman dan rukun Islam, dan seterusnya. Jia dijumpai pemikiran tasawuf yang tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah itu, maka segera diperbaiki, dan hal ini telah dilakukan oleh para ulama.
Berdasarkan uraian tersebut, maka tidak ada alasan untuk ragu-ragu menerima ajaran tasawuf, atau menolaknya. Bahkan jika boleh dikatakan bahwa tasawuf itulah sebenarnya inti ajaran Islam, dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut. Pertama, bahwa kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat nanti yang kebahagiaannya amat bergantung kepada selamatnya rohani manusia dari perbuatan dosa dan pelanggaran. Allah berfirman:
إِلَّا مَنۡ أَتَى ٱللَّهَ بِقَلۡبٖ سَلِيمٖ ٨٩
“ Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”. (QS. Al-Syu’ara, 26:89)
Untuk mewujudkan rohani yang sehat sebagaimana diisyaratkan dalam ayat tersebut termasuk salah satu tugas tasawuf yang utama. Kedua, bahwa kebahagiaan yang hakiki dalam kehidupan di dunia ini sebenarnya terletak pada adanya keterangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketundukan pada Tuhan. Banyaknya harta benda, pangkat, kedudukan dan lain sebagainya sering membawa seseorang kepada kehidupan yang lupa diri, dan terperosok ke lembah maksiat, jika tidak diarahkan oleh jiwa tasawuf. Sebaliknya banyak orang yang kehidupan ekonomi, status sosial dan kedudukannya biasa-biasa saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang, disukai orang dan seterusnya yang disebabkan karena yang bersangkutan menunjukkan jiwa dan sikap yang mulia yang dihasilkan dari ketundukan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Ketiga, bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai pada batas-batas di mana harta benda, seperti tempat tinggal yang serba mewah, pakaian serba lux, kendaraan mengkilap dan lain sebagainya tidak diperlukan lagi, yaitu pada saat usianya sudah lanjut yang ditandai dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya pencernaan makanan, kurang berfungsinya pancaindera, dan kurangnya selera terhadap berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan lebih mendekatkan diri pada Tuhan, tempat ia harus mempertanggujawabkan amalnya.
Keempat, dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh berbagai paham sekuler seperti materialisme (memuja materi, hedonisme (memuja kepuasan nafsu), vitalisme (memuja keperkasaan), dan sebagainya, sering menyeret manusia kepada kehidupan yang penuh persaingan, rakus, boros, saling menerkam, dan lain sebagainya. Keadaan tersebut semakin diperburuk dengan munculnya berbagai produk budaya yang negatif mulai dari makanan dan obat-obat terlarang, hiburan yang melupakan diri, pakaian yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran dan sebagainya. Hal tersebut kemudian memberi pengaruh negatif terhadap generasi muda. Untuk mengatasi masalah tersebut banyak membutuhkan pemikiran, biaya, tenaga, waktu dan yang tidak sedikit. Dalam keadaan demikian tasawuf dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi masalah tersebut secara ekonomis, tetapi hasilnya cukup efektif.
Dengan melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan oleh tasawuf ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai bagian integral dari ajaran Islam, bahkan ia harus diletakkan pada barisan yang paling depan dalam menyelamatkan kehidupan manusia dari bahaya kehancuran dan kesengsaraan di dunia dan akhirat.
4. Karakteristik Tasawuf

Abu al-wafa Al-Ghanimi At-Taftazani, dosen filsafat Islam dan tasawuf Universitas Cairo, mengemukakan ciri umum tasawuf, yaitu bahwa tasawuf memiliki nilai-nilai moral yang bertujuan untuk membersihkan jiwa. Nilai-nilai ini hanya dapat diperoleh melalui latihan fisik-psikis serta pengekangan diri dari materialisme duniawi.
Dengan latihan ini, seorang sufi akan sampai pada kondisi psikis tertentu dimana ia tidak lagi merasakan adanya diri atau keakuannya. Bahkan ia merasa kekal abadi dalam realitas mutlak. Kehendaknyapun lebur dalam kehendak yang mutlak, sehingga tersingkaplah rahasia segala sesuatu. Inilah pengalaman yang memberikan ketentraman dan kebahagiaan pada seorang sufi.
Ciri tasawuf yang dikemukakan di atas sebenarnya merupakan ciri-ciri umum yang mencakup segenap bentuk mistik, baik yang ada dalam lingkungan Islam maupun nonislam. Ciri-ciri ini hanya dapat diterapkan pada tasawuf yang matang dan sempurna. Sehingga, seperti yang dikatakan Ibnu Arabi, pengetahuan dalam tasawuf bersifat pasti dan meyakinkan, bukan bersifat spekulatif.
Tasawuf merupakan visi langsung terhadap sesuatu, bukan melalui dalil. Orang yang mendapat pengetahuan ini dianggap berada dalam cahaya Allah di jalan yang benar, karena mereka mampu melihat sesuatu langsung dari hakikatnya. Itu sebabnya tasawuf sukar untuk diungkapkan dengan kata-kata yang mudah di pahami oleh masyarakat awam. Ia merupakan puncak pengalaman perjalanan rohani menuju yang mutlak. Apalagi pengalaman tasawuf ini juga merupakan karunia dari tuhan setelah seseorang menempuh penyucian rohaninya melalui latihan-latihan fisik-psikis yang berat. Akal sama sekali mempunyai peranan disini.
Dalam konteks inilah, seperti sering dikatakan Ibnu Arabi, tasawuf hanya dikaruniakan Allah kepada para Nabi dan wali. Sebab, merekalah yang telah mencapai puncak tertinggi proses penyucian rohaninya dalam mendekatkan diri kepada Allah.
5. Macam-macam Tasawuf
Berdasarkan obyek dan sasarannya, tasawuf diklarifikasikan menjadi tiga macam yaitu Tasawuf akhlaqi
Yaitu tasawuf yang sangat menekankan nilai-nilai etis (moral).
Dalam pandangan kaum sufi, manusia cenderung mengikuti hawa nafsu. Manusia cenderung ingin menguasai dunia atau berusaha agar berkuasa di dunia. Cara hidup seperti ini menurut al-Ghazali akan membawa manusia ke jurang kehancuran moral. Sehingga kehidupan di dunia akan menjadi tujuan utama, bukan sebagai jembatan atau sarana untuk menuju kebahagiaan dan kenikmatan yang hakiki.
          Pandangan hidup seperti itu menjurus ke arah pertentangan manusia dengan sesamanya, sehingga ia lupa akan wujud dirinya sebagai hamba Allah yang harus berjalan di atas aturan-aturanNya. Karena sebagian besar waktu dihabiskan untuk persoalan-persoalan duniawi, ingatan dan perhatiannya pun jauh dari Allah. Menurut al-Ghazali itu semua disebabkan oleh tidak terkontrolnya hawa nafsu.[4]
          Sebenarnya manusia tidak bisa mematikan sama sekali nafsunya, tetapi ia harus menguasainya agar nafsu itu tidak sampai membawa kepada kesesatan. Nafsu merupakan salah satu potensi yang Allah ciptakan didalam diri manusia agar ia dapat hidup lebih maju, penuh kreativitas, dan bersemangat. Jika manusia tidak mempunyai nafsu, tidak akan ada kemajuan dalam kehidupan mereka.
          Namun, sebagaimana yang telah diterangkan dalam al-Qur’an, manusia mempunyai kecenderungan untuk menjadi baik ataupun buruk. QS.Asy-Syams[91]:8–10, QS.Al-Jatsiyah[45]:23. Ayat-ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa Allah memberikan dua jalan, yakni jalan kebaikan dan jalan keburukan. Namun Allah juga melarang kita untuk menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan. Maka manusia perlu mengendalikan hawa nafsunya agar bisa mengaturnya sesuai dengan ketentuan Allah.
          Para sufi menyatakan bahwa rehabilitasi kondisi mental yang tidak baik tidak akan berhasil baik apabila terapinya hanya dari aspek lahiriah. Itulah sebabnya pada tahap-tahap awal memasuki ilmu tasawuf, seorang murid diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat. Tujuannya adalah untuk menguasai hawa nafsu dalam rangka pembersihan jiwa untuk dapat berada di hadirat Allah. Tindakan manusia yang dikendalikan oleh hawa nafsu dalam mengejar kehidupan duniawi  merupakan tabir penghalang antara manusia dan Tuhan. Sebagai usaha menyingkap tabir yang membatasi manusia dengan Tuhan, ahli tasawuf membuat suatu sistem yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkatan, yakni sebagai berikut:
a)    Takhalli
Takhalli berarti membersihakan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin. Diantara sifat-sifat tercela yang mengotori jiwa (hati) manusia ialah hasad (dengki), hiqd (rasa mendongkol), su’udzan (buruk sangka), takabbur (sombong), ‘ujub (membanggakan diri), riya’ (pamer), bukhl (kikir), dan gadab (pemarah). Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya dan rugilah orang yang mengotorinya.” (TQS. Asy-Syams[91]:9-10)
Takhalli juga berarti mengosongkan hati dari sikap ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi. Hal ini akan dapat dicapai dengan jalan menjauhkan diri dari kemaksiatan dalam segala bentuknya. Menurut orang-orang sufi, kemaksiatan pada dasarnya dapat dibagi dua: Maksiat lahir dan maksiat batin. Maksiat lahir ialah segala sifat tercela yang dikerjakan oleh anggota lahir seperti tangan, mulut dan mata. Maksiat batin ialah segala sifat tercela yang diperbuat oleh anggota batin, yaitu hati.
Pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang tercela ini dalam tasawuf atau akhlak lebih didahulukan daripada pembicaraan tentang sikap atau kelakuan yang terpuji karena ia termasuk usaha takhliyah (mengosongkan diri dari sifat-sifat tercela) sambil mengisinya (tahliyah) dengan sifat-sifat yang terpuji.
Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, oleh orang-orang sufi dipandang penting karena sifat-sifat itu merupakan najis maknawi (najasah ma’nawiyah). Adanya najis-najis ini pada diri seseorang menyebabkan ia tidak mungkin dekat kepada Allah, sebagaimana kalau mempunyai najis dzati (najasah suriyah), ia tidak mungkn dapat mendekati atau melakukan ibadah yang diperintahkan Allah.
Kelompok sufi yang ekstrem berkeyakinan, kehidupan duniawi benar-benar sebagai “racun pembunuh” kelangsungan cita-cita sufi. Dunia adalag penghalang perjalanan. Karena itu, nafsu duniawi harus “dimatikan” dari diri manusia agar ia bebas berjalan menuju tujuan; mencapai kenikmatan spiritual yang hakiki.
b)    Tahalli
Tahalli yaitu mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan taat lahir dan taat batin. Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
۞إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُ بِٱلۡعَدۡلِ وَٱلۡإِحۡسَٰنِ وَإِيتَآيِٕ ذِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَيَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِ وَٱلۡبَغۡيِۚ يَعِظُكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَذَكَّرُونَ ٩٠
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. (TQS.An-Nahl[16]:90)
Tahalli juga berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sifat dan sikap serta perbuatan yang baik. Berusaha agar dalam setiap gerak perilaku selalu berjalan di atas ketentuan agama, kewajiban yang bersifat lahir maupun batin. Yang dimaksud dengan ketaatan lahir diantara lain seperti shalat, zakat, puasa, haji dan dakwah. Sedangkan yang dimaksud dengan kekuatan batin yaitu iman, ikhlas dan lain sebagainya.
Tahalli ini merupakan tahap pengisian jiwa yang telah dikosongkan pada tahap Takhalli. Dengan kata lain, sesudah tahap pembersihan diri dari segala sifat dan sikap mental yang tidak baik dapat dilalui (takhalli), usaha itu harus berlanjut terus ke tahap berikutnya yang disebut tahalli. Al-Ghazali menerangkan bahwa bersifat baik atau berakhlak terpuji itu artinya menghilangkan semua kebiasaan yang tercela yang telah dijelaskan oleh ajaran agama, dan bersamaan dengan itu membiasakan sifat yang baik, mencintai dan melakukannya.
Manusia yang mampu mengosongkan hatinya dari sifat-sifat yang tercela (takhalli) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (tahalli), segala perbuatan dan tindakannya sehari-hari selalu berdasarkan niat yang ikhlas. Artinya tanpa mengharapkan suatu balasan atau embel-embel lain. Seluruh hidup dan gerak kehidupannya diikhlaskan untuk mencari keridlaan Allah semata. Karena itulah manusia yang seperti ini dapat mendekatkan diri kepada Allah.
c)    Tajalli
Tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati. Dalam hal ini kaum sufi mendasarkan pendapatnya pada firman Allah SWT: Allah adalah nur (cahaya) langit dan bumi (QS.An-Nuur[24]:35) Karena itulah setiap calon sufi mengadakan latihan-latihan jiwa (riyadah), berusaha membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang keji, melepaskan segala sangkut paut dengan dunia, lalu mengisi dirinya dengan sifat-sifat yang terpuji, segala tindakannya selalu dalam rangka ibadah, memperbanyak dzikr, menghindarkan diri dari segala yang dapat mengurangi kesucian diri, baik lahir maupun batin. Seluruh jiwa (hati) hanya semata-mata untuk memperoleh tajalli, untuk menerima pancaran nur ilahi.
Menurut kaum sufi, jalan kepada Allah itu terdiri dari dua usaha. Pertama, mulazamah yaitu terus-menerus berada dalam dzikr kepada Allah; kedua, mukhalafah yaitu terus-menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat melupakan-Nya. Apabila jiwa telah terisi dengan sifat-sifat yang mulia dan sudah terbiasa melakukan amal-amal shalih dan perbuatan-perbuatan luhur, maka untuk selanjutnya agar hasil yang diperoleh itu tidak berkurang, perlu penghayatan rasa ketuhanan.
Orang-orang sufi berpendapat bahwa untuk mencapai tingkat kesempurnaan kesucian jiwa itu hanya dengan satu jalan, yaitu cinta kepada Allah dan memperdalam rasa kecintaan itu. Dengan kesucian jiwa ini, maka akan terbuka jalan untuk mencapai Tuhan. Untuk melestarikan dan memperdalam rasa ketuhanan, ada beberapa cara yang diajarkan kaum sufi, antara lain adalah:
1)    Munajat
Secara sederhana kata ini mengandung arti melaporkan diri ke hadirat Allah atas sega aktivitas yang dilakukan. Dalam munajat itu, disampaikan segala keluhan, mengadukan nasib dengan untaian kalimat yang indah seraya memuji keagungan Allah. Ini adalah salah satu bentuk doa yang diucapkan dengan sepenuh hati disertai dengan deraian air mata dan dengan bahasa yang puitis. Tangis karena merasa banyak kekurangan, berarti air mata karena rasa rindu ingin berjumpa dengan Tuhan. Bagi orang sufi, tangis dan air mata itu mendapat nilai tertentu sebagai tanda penyesalan diri atas suatu kesalahan, yakni menyimpang daripada kehendak Tuhan.
Munajat biasanya dilakukan dalam suasana keheningan malam seusai tahajjud agar segala ekspresinya tertuju bulat ke hadirat ilahi. Pada saat orang lain tertidur lelap, seorang pencari kebahagiaan yang hakik bangun memenuhi panggilan cinta dan rindunya kepada Allah untuk membuka dialog dengan-Nya. Pemusatan jiwa dengan sebulat hati yang diiringi derai air mata membuat suasana kontemplasi itu seakan ia sedang berhadapan langsung dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
2)    Muraqabah dan Muhasabah
Menurut Imam al-Ghazali perkataan muraqabah sama artinya dengan ihsan. Didalam sebuah hadits dikatakan bahwa “Ihsan adalah keadaan engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau tidak melihat-Nya maka Dia melihat engkau.”[5] Hadits tersebut memberikan isyarat tentang arti dan makna muraqabah. Karena muraqabah merupakan pengetahuan seseorang bahwa Tuhan selalu melihat, mengetahui dan mendengar tentang dirinya dan dengan mantapnya pengetahuan ini berarti ia telah muraqabah kepada Tuhannya.
Muraqabah merupakan pokok pangkal kebaikan; dan hal ini baru bisa dicapai oleh seseorang apabila sudah mengadakan muhasabah (memperhitungkan) terhadap amal perbuatannya sendiri. Apabila Ia seseorang yang telah mengadakan introspeksi terhadap amal perbuatannya, tentulah ia mengetahui tentang kelebihan dan kekurangannya. Dengan mengetahui kekurangannya lahirlah keinginan untuk memperbaiki hubungannya dengan Tuhannya. Dengan demikian ingatannya selalu tertuju pada Allah dan Allah selalu memperhatikan apa yang diperbuatnya dan mendengar apa yang dikatakannya. Jadilah dia orang yang selalu dekat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’alai.
Jadi, muraqabah merupakan hasil dari pengetahuan dan pengenalan seseorang terhadap Allah, hukum-hukumNya dan ancaman-ancamanNya. Apabila sikap muraqabah ini telah  berakar kuat dalam jiwa seseorang, seluruh budi pekertinya menjadi baik. Maka muraqabah seseorang didalam berbuat taat kepada Allah akan menumbuhkan keikhlasan, dan muraqabah dalam berbuat maksiat akan menumbuhkan kesadaran untuk bertaubat, menyesal dan meninggalkan perbuatan maksiat.
Kemudian yang dimaksud dengan muhasabah, Imam al-Gazali mengatakan: “Hakikat muhasabah  ialah selalu memikirkan dan memperhatikan apa yang telah diperbuat dan yang akan diperbuat; dan muhasabah ini lahir dari iman dan kepercayaan terhadap hari perhitungan (hari kiamat).” Hal ini senada dengan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (QS.Al-Hasyr[59]:18)
Demikianlah sikap muraqabah dan muhasabah yang merupakan sikap yang sangat dituntut untuk dimiliki oleh setiap orang yang beriman, yang akan meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah, dan yang akan meningkatkan kepekaan rohani dan ketajaman hati, ke tingkat yang lebih tinggi sehingga betul-betul menjadikannya hidup dalam ketaatan dan terhindar dari kemaksiatan serta jiwanya penuh dengan rasa ketuhanan, yakni Tuhan terasa selalu hadir dalam seluruh hidup dan kehidupannya.
3)    Memperbanyak wird dan dzikr
Memperbanyak wird dan dzikr merupakan suatu keharusan bagi seseorang yang ingin mendekatka diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan ini merupakan ciri khas dari kehidupan seorang sufi. Secara umum Ibrahim Hilal mengatakan: Tasawuf itu adalah bermacam-macam ibadah, wird dan lapar, berjaga di waktu malam dengan memperbanyak shalat dan wird, sehingga lemahlah unsur jasmaniah dalam diri seseorang dan semakin kuatlah unsur rohaniahnya.[6]
Wird (bentuk jamaknya: awrad) berarti bacaan-bacaan zikr, doa-doa atau amalan-amalan lain yang dibiasakan membacanya atau mengamalkannya. Biasanya dzikr, doa atau amalan tersebut dilakukan setelah shalat, baik shalat wajib maupun shalat sunnah. Kemudian yang dimaksud dengan dzikr ialah ucapan yang dilakukan dengan lisan atau mengingat Allah dengan hati, dengan ucapan atau ingatan untuk mensucikan Tuhan dan membersihkan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya, selanjutnya memuji-Nya dengan pujian atas sifat-sifatNya yang sempurna, sifat-sifat yang menunjukkan kebesaran dan keagungan-Nya.
Didalam al-Qur’an tidak sedikit ayat yang menyuruh kita mengingat Allah, atau menganjurkan berdzikr kepada Allah. Diantaranya adalah: “Dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS.Al-Jumu’ah[62]:10), “Laki-laki dan perempuan yang banyak mengingat Allah, Allah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (QS.Al-Ahzab[33]:35), “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama Allah) sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” (QS.Al-Ahzab[33]:41-42)
4)    Mengingat Mati
Pada dasarnya manusia diciptakan Allah dengan dibekali dua kecenderungan atau sifat, sifat yang membawa kepada kebaikan dan sifat yang membawa kepada kejahatan. Kedua sifat ini tidak dapat dipisahkan dari diri manusia, karena itulah ia dinamakan sifat manusiawi. Kemudian Allah menciptakan pula bagi manusia daya yang disebut usaha dan ikhtiar. Dengan adanya usaha dan ikhtiar inilah manusia dibebani agar selalu menghindar dari segala yang merusak, yang tidak dikehendaki Allah.
Dan Allah memuji orang yang berusaha dan berikhtiar untuk membersihkan jiwanya, sebagaimana firman-Nya:
 قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠  
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS.Asy-syams[91]:9-10).
 Tetapi tidak semua orang mempergunakan kemampuan yang diberikan Allah tersebut untuk membersihkan jiwanya, karena itu tidaklah jarang manysia hidup dalam kekotoran dan kemaksiatan.
Untuk membangkitkan kesadaran manusia terhadap tugas dan kewajibannya di dunia, maka salah satu cara atau metode yang dipergunakan orang sufi ialah agar orang selalu mengingat mati. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Banyak-banyaklah kamu mengingat kejadian yang akan menghancurkan segala kelezatan (mati)”, “Banyak-banyaklah kamu mengingat mati, karena sesungguhnya mengingat mati itu dapat menghapus beberapa dosa dan membuat orang bersikap zuhd terhadap dunia”. Sepandai-pandai manusia adalah orang yang terbanyak ingatannya kepada kematian, dan yang terbanyak persiapannya untuk menerimanya.
Dengan ingat kepada mati, manusia akan giat beramal dan sebaliknya, apabila manusia lupa kepada mati maka lupalah ia kepada hari akhirat, tempat kembali seluruh umat manusia. Padahal kematian bisa datang kapan saja, disaat tua maupun muda, sehat maupun sakit, dan tanpa memperdulikan kita siap ataukah tidak. Dalam hal ini Allah berfirman: “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati.” (QS.Ali-Imran[3]:185), “Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS.Yunus[10]:49), “Katakanlah: sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS.Al-Jumu’ah[62]:8).
Oleh karena itu, ingat kepada kematian –kapan dan dimana pun- adalah satu hal yang snagat penting. Orang sufi berkeyakinan bahwa ingat akan mati dan hidup kembali di akhirat termasuk rangkaian aktivitas rohani yang perlu dibina. Setiap saat otang perlu menyadari kematian, sebab dengan melekatnya ingatan pada mati, akan menimbulkan rangsangan untuk mempersiapkan diri menghadapinya. Hingga orang yang selalu ingat mati akan merasa takut, dan rasa takut itulah yang mendorongnya untuk bertaubat.
5)    Tafakkur
Kata tafakkur (bahasa Arab) berasal dari kata kerja (fi’il) tafakkara, yang berarti berpikir, memikirkan, merenungkan atau meditasi. Dalam Islam, tafakkur (meditasi) dibesarkan atas ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan kepada mereka yang diberkahi pengetahuan dan dituntut untuk merenungkan tanda-tanda (fenomena-fenomena) alam. Dalam hal ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk, atau dalam penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS.Ali-Imran[3]:190-191).
Menurut ajaran Islam, sebagaimana yang diterangkan dalam a;-Qur’an bahwa dengan memikirkan dan merenungkan kejadian alam dengan segala fenomenanya ini dapat dijadikan sebagai tanda adanya sang Pencipta yang Maha Agung dan Bijaksana, yaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Didalam konsep kaum sufi, tafakkur tidak hanya sekedar untuk mengetahui dan menetapkan adanya Tuhan, tetapi lebih dari itu ia ingin mencari nilai dan rahasia dari duatu obyek yang sedang dipikirkan dan direnungkan sebagai makhluk yang diciptakan Allah tanpa sia-sia. Karena menurut mereka (kaum sufi) tafakkur merupakan suatu jalan untuk memperoleh pengetahuan tentang Tuhan dalam arti yang hakiki.
2.       Tasawuf ‘amali
Yaitu tasawuf yang lebih mengutamakan kebiasaan beribadah, tujuannya agar diperoleh penghayatan spiritual dalam setap melakukan ibadah.
Tasawuf amali merupakan lanjutan dari tasawuf akhlaki, karena seseorang tidak bisa dekat dengan Tuhan dengan amalan yang ia kerjakan sebelum ia membersihkan jiwanya. Jiwa yang bersih merupakan syarat utama untuk bisa kembali kepada Allah, karena Dia adalah dzat yang bersih dan suci; dan hanya menginginkan/menerima orang-orang yang suci. Dalam pengamalan ajaran tasawuf, ada beberapa istilah praktis yang perlu dijelaskan. Hal ini merupakan sarana dan prasarana dalam pelaksanaan ajaran tasawuf sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah.
Apabila dilihat dari sudut amalan serta jenis ilmu yang dipelajari, maka terdapat beberapa istilah yang khas dalam ilmu tasawuf. Orang sufi membagi ajaran agam kepada ilmu lahir dan ilmu batin, yakni ajaran agama itu ada yang mengandung arti lahiriah dan arti batiniah. Oleh karena itu cara memahami dan mengamalkannya juga harus melalui aspek lahir dan aspek batin. Kedua aspel yang terkandung dalam ilmu agama tersebut meraka bagi menjadi empat kelompok, yaitu:
a.    Syari’ah
Syari’ah artinya undang-undang atau garis-garis yang telah ditentukan termasuk didalamnya hukum-hukum Islam. Syariah dipandang oleh kaum sufi sebagai ajaran Islam yang bersifat lahir (eksoterik). Karena itu, mengerjakan syari’ah berarti mengerjakan amalam-amalan yang lahir (badaniah) dari ajaran atau hukum agama, seperti shalat, zakat, puasa, haji, berjihad dijalan Allah dan lain sebagainya.
Orang-orang sufi mengartikan syari’ah sebagai amalan-amalan lahir yang difardukan dalam agama, yang biasa dikenal dengan Rukun Islam; dan segala hal yang berhubungan dengan itu, yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, bagi seorang yang ingin memasuki dunia tasawuf harus lebih dahulu mengetahui secara mendalam tentang isi ajaran al-Qur’an dan al-Hadits yang dimulai dengan amalan lahir, baik yang wajib maupun yang sunnah.
b.    Tariqah
Dalam melaksanakan syari’ah tersebut diatas haruslah berdasarkan tata cara yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghamban diri kepada Allah, karena kecintaan kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya. Perjalanan menuju kepada Allah itulah yang mereka maksud dengan tariqah, atau tariqah tasawuf. Perjalanan ini sudah mulai bersifat batiniah, yaitu amalan lahir yang disertai amalan batin.
Menurut keyakinan sufi, orang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ibadah sebelum menempuh jalan ke arah itu. Jalan itu dinamakan tariqah, dalam bahasa kita diucapkan tarekat atau suluk, dan orang yang melakukan itu dinamakan ahli tariqah atau salik.[7] Untuk itu maka ditetapkanlah ketentuan-ketentuan yang bersifat batiniah agar pelaksanaan ketentuan-ketentuan lahiriah itu dapat mengantarkan seseorang kepada akhir perjalanannya yaitu melalui tahap demi tahap dan situasi demi situasi, yang kemudian dikenal dengan istilah maqamat dan ahwal.
Menurut kaum sufi, kehidupan di alam ini penuh dengan rahasia-rahasia. Rahasia-rahasia itu tertutup oleh dinding-dinding, yaitu hawa nafsu. Tetapu rahasia itu mungkin terbuka dan dinding (hijab) itu mungkin tersingkap dan kita dapat melihat atau berhubungan langsung dengan rahasia tersebut, asal kita mau menempuh jalannya. Jalan itulah yang dinamakan tariqah. Dalam menempuh jalan (tariqah) untuk membuka rahasia dan menyingkap dinding tersebut kaum sufi mengadakan kegiatan batin, riyadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) rohani yang cukup panjang. Jadi jelaslah bahwa tariqah itu ialah suatu sistem atau metode untuk mengenal dan merasakan adanya Tuhan, yakni sesorang dapat melihat Tuhannya dengan mata hatinya.

c.     Haqiqah
Secara etimologi haqiqah berarti inti sesuatu, puncak atau sumber asal dari sesuatu. Dalam dunia sufi, haqiqah diartikan sebagai aspek lain dari syari’ah yang bersifat lahiriah, yaitu aspek batiniah. Dengan demikian dapat diartikan sebagai rahasia yang paling dalam dari segala amal, inti dari syari’ah dan akhir dari perjalanan yang ditempuh oleh seorang sufi.
Haqiqah juga dapat berarti kebenaran sejati dan mutlak, sebagai akhir dari semua perjalanan, tujuan segala jalan. Tariqah dan haqiqah tak dapat dipisahkan, bahkan sambung menyambung antara satu dengan yang lain. Pelaksanaan ajaran Islam tidak sempurna, jika tidak dikerjakan secara integratif tentang empat hal, yaitu syari’ah, tariqah, haqiqah dan ma’rifah. Maka apabila syari’ah merupakan peraturan, tariqah merupakan pelaksanaan, haqiqah merupakan keadaan, maka ma’rifah merupakan tujuan, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya.

d.    Ma’rifah
Secara etimologi, ma’rifah berarti pengetahuan atau pengenalan. Sedangkan dalam istilah sufi, ma’rifah itu diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati (qalb). Pengetahuan itu sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya itu.
Pada prinsipnya dalam ilmu tasawuf, yang dimaksud dengan ma’rifah ialah mengenal Allah (ma’rifatullah). Dan ini merupakan ‘tujuan utama’ dalam ilmu tasawuf, yakni mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Dalam hubungan ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّنِيٓ أَنَا ٱللَّهُ لَآ إِلَٰهَ إِلَّآ أَنَا۠ فَٱعۡبُدۡنِي وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ لِذِكۡرِيٓ ١٤
Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” (QS.Taaha[20]:14)
Menurut orang sufi, ma’rifah adalah sifat orang yang mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah. Sebagai bukti pengenalannya ialah ketaatannya kepada-Nya dengan menjalankan amal shalih dan meninggalkan perbuatan yang tercela; selalu ingat kepada-Nya. Dengan demikian Allah akan mencintainya dan memberinya karunia, taufik dan hidayah sehingga ia tidak dapat dipalingkan oleh siapapun ke arah yang tidak diridhai-Nya.
3.       Tasawuf falsafi
Yaitu tasawuf yang menekankan pada masalah-masalah filsafat dan metafisika. Tasawuf ini disebut juga irfani (yang bersifat pengetahuan batin).
Tasawuf falsafi ialah tasawuf yang ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional. Berbeda dengan tasawuf akhlaki dan tasawuf amali –yang masih berada dalam lingkungan tasawuf suni seperti tasawufnya al-Gazali–, tasawuf falsafi menggunakan terminologi falsafi dalam pengungkapan ajarannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat, yang telah mempengaruhi para tokoh-tokohnya.
Ciri umum tasawuf falsafi ialah kesamaran-kesamaran ajarannya, akibatnya banyaknya ungkapan dan peristilahan khusus yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Selanjutnya tasawuf falsafi ini tidak bisa dipandang sebagai filsafat, karena ajaran dan metodenya didasarkan pada rasa (zauq), dan sebaliknya, tidak pula bisa dikategorikan pada tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih cenderung kepada panteisme.


[1] Solihin, M. Anwar, M Rosyid. Akhlak Tasawuf (Bandung: Nuansa. 2005) Hlm. 175

[2] Ibid. Hlm. 177

[3] IAIN Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, hlm.20
[4] Imam al-Gazali, Mukasyafah al-Qulub, Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Cairo, t.t., hlm. 13.
[5] Muslim, Saheh Muslim bi Syarhi Al-Nawawi, I, al-maktabah al-Misriah, Cairo, t.t., hlm.157.
[6] Ibrahim Hilal, Al-Tasawuf al-Islami Baina al-din wa al-Falsafah, Dar Nahdiah al-‘Arabiah, Cairo, 1979, hlm.1.
[7] Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi & Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1984, hlm.63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar