Niat dalam Menuntut Ilmu
1. Niat menuntut ilmu karena Allah
Kata Niat dalam bahasa Arab berarti
menginginkan sesuatu dan bertekad hati untuk mendapatkannya. Al-Azhari
mengatakan bahwa kalimat ( Nawaakallahu ) artinya adalah ’semoga Allah
menjagamu,` Orang Arab juga sering berkata (Nawaakallahu) dengan maksud ’semoga
Allah menemanimu dalam perjalanan dan menjagamu.’ Dengan kata lain ( Niyyatu )
berarti kehendak atau ( Alqosdu ), yaitu yakinnya hati untuk melakukan sesuatu
dan kuatnya kehendak untuk melakukannya tanpa ada keraguan. Sehingga ( Niyyatu
) dan menginginkan sesuatu ( Iroodatulfi`li ) adalah sinonim. Dalam Islam niat menjadi rukun beramal, tidak
sah suatu amal yang tidak disertai dengan niat. Niat pun harus tulus, karena
Allah atau mencari ridha Allah yang disebut dengan ikhlas. Dalam salah satu
Hadis Rasulullah SAW bersabda: “ Sesungguhnya sahnya segala amal adalah dengan
niat” (HR. Bukhari dan Muslim).[1]
Salah satu dalil dari kaidah
yang sangat agung dan bermanfaat yang berbunyi “Al-Umuru bimaqoshidiha”
(Setiap perkara tergantung dengan maksudnya). Berkata Syaikh ‘Abdurrahman
bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah dalam Manzhumahnya : “Niat adalah syarat bagi seluruh amalan, pada
niatlah benar atau rusaknya amalan. Kebanyakan
ulama mutaakhirin Syafi’iyah mengartikan niat syar’iyah (niat yang dipandang
syara) dengan “menghendaki sesuatu, bersamaan dengan mengerjakannya”[2]
. Pada awalnya ,
seseorang mengetahui sesuatu, lalu muncullah kehendaknya untuk berbuat sesuai
dengan pengetahuan tersebut.
Rasulullah saw, bersabda :
نِيَّةُ المُؤمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ
“Niat orang mukmin lebih baik daripada
perbuatannya.” ( HR Thabrani dan Haitsami) [3]
Keyakinan seseorang muslim terhadap keharusan
niat bagi setiap amal serta kewajiban untuk memperbaikinya bersandar kepada :
Pertama , firman Allah :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ
الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus.” (Q.S Al-Bayyinah/98 : 5)
قُلْ إِنِّي
أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Katakanlah:
"Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama.” (Q.S Az-zumar/75 : 11 )
Dalam ayat yang lain Allah SWT menyatakan
bahwa Allah tidak menerima darah dan daging , melainkan ketakwaan lah yang
diterima .[4]
لَن يَنَالَ
ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ
كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمۡ لِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡۗ
وَبَشِّرِ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
Artinya : “Daging-daging unta dan darahnya itu
sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk
kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik” (Q.S Al-Hajj : 37
).
Dari ketiga ayat ini nyata benar betapa penting peranan niat dan ikhlas
dalam segala amal perbuatan ibadat yang berupa syi’ar atau bukti taat kepada
Allah.[5]
Kedua
,
Sabda Rasulullah saw :
إِنَّمَا
الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap
orang hanya memperoleh apa yang dia niatkan itu”[6](Muttafaq ‘alaih)
Juga sabdanya ,
اِنَّ اللهَ لاَ
يَنْظُرُ إِلَى صُورَ كُمْ وَاَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنظُرُ إِلَى قُلُو بِكُمْ وَاَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada rupa-rupa dan harta kalian, akan tetapi Dia melihat
kepada hati dan perbuatan kalian.”[7]
(Muttafaq ‘alaih)
Yang dimaksudkan dengan Allah melihat ke dalam hati adalah melihat
bagaimana niatnya, sehingga dapat dikatakan bahwa niat adalah sesuatu yang
membangkitkan sebuah tindakan (amal) dan yang menjadi motivatornya. [8]
Dalam kalimat هِجْرَتُهُ
إِلَى اللهِ وَرُسُولِهِ (Hijrahnya
kepada Allah dan Rasul-Nya) menjelaskan bahwa hendaklah niat seorang pelajar dalam
menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridha Allah mencari kebahagiaan di akhirat
, menghilangkan kebodohan dirinya, menghidupkan agama,dan melestarikan Islam. Karena
Islam akan tetap lestari kalau
pemeluknya berilmu.[9]
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqi , niat itu terbagi
tiga :[10]
1.
Niat ‘ibadah , yaitu menghinakan diri tunduk
secara sangat sempurna, buat menyatakan ketundukan dan kehinaan.
2.
Niat taat, yaitu melaksanakan apa yang Allah
kehendaki.
3.
Niat qurbah, yaitu melaksanakan ibadah dengan
maksud memperoleh pahala.
Dengan demikian , niat akan menjadi kunci
daripada hasil perbuatan (amal). Niat
yang tulus adalah penghambaan yang semata-mata dilakukan karena mengharap ridha
Allah. Keutamaan ikhlas dalam beramal akan membuahkan hasil yang sangat
banyak bahkan berlipat ganda. Allah SWT menggambarkan keikhlasan dalam beramal
ini seperti yang tersirat dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah : 265 sebagai
berikut :
وَمَثَلُ
ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمُ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ وَتَثۡبِيتٗا
مِّنۡ أَنفُسِهِمۡ كَمَثَلِ جَنَّةِۢ بِرَبۡوَةٍ أَصَابَهَا وَابِلٞ فََٔاتَتۡ
أُكُلَهَا ضِعۡفَيۡنِ فَإِن لَّمۡ يُصِبۡهَا وَابِلٞ فَطَلّٞۗ وَٱللَّهُ بِمَا
تَعۡمَلُونَ بَصِيرٌ ٢٦٥
Artinya :”Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena
mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun
yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu
menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan
lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha
Melihat apa yang kamu perbuat.”
Berdasarkan ayat diatas , Allah memberikan jaminan pahala kebaikan dan
pahala yang begitu besar bagi orang yang ikhlas. Keikhlasan dalam berbuat
merupakan salah satu bentuk keteguhan jiwa seseorang dan akan meningkatkan
kualitas keimanan . [11]
Suatu ketentuan Islam ialah bahwa sesuatu
amal perbuatan , besar atau kecil , di
bidang yang manapun, dinilai sesuai dengan niatnya, atau motivasi-motivasinya
yang terkandung di dalam hati yang melakukannnya.[12]
2. Niat menuntut ilmu karena dunia.
Dalam
menuntut ilmu juga harus didasari niat untuk mensyukuri nikmat dan kesehatan
badan. Jangan sampai terbesit niat untuk mengharapkan supaya dihormati
masyarakat , untuk mendapatkan harta dunia, atau agar mendapat kehormatan di
hadapan pejabat atau lainnya. Seperti yang tersirat dalam
kalimat هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا (Hijrahnya karena urusan dunia). Bahwa tujuan
atau niat seseorang
dalam pendidikan bisa saja hanya karena menginginkan kehidupan dunia.
Rasulullah SAW bersabda :
“ Banyak amal yang tergolong amalan
keduniaan , tapi karena didasari niat yang baik (ikhlas) maka menjadi tergolong amal-amal akhirat. Sebaliknya
banyak amalan yang sepertinya tergolong amal akhirat, tapi ternyata ia
tergolong amal dunia, karena didasari niat yang buruk (tidak ikhlas).”
Muhammad bin Hasan berkata
,” Andai kata seluruh manusia menjadi budakku , pasti akan kumerdekakan
semuanya dan akan kubebaskan dari wala’(loyalitas) mereka”
Barangsiapa dapat
merasakan lezatnya ilmu dan nikmatnya mengamlakan ilmu , maka dia tidak akan
begitu tertarik dengan harta yang dimiliki orang lain.
Syaikh Imam
Hammad bin Ibrahim bin Ismail Assyafar Al Anshari membacakan syairnya Abi
Hanifah :”Siapa yang menuntut ilmu untuk akhirat , tentu ia akan memperoleh
anugrah kebaikan .Dan kerugian bagi orang yang menuntut ilmu hanya untuk
mencari kedudukan di masyarakat.”[13]
Boleh
menuntut ilmu dengan niat upaya mendapat kedudukan di masyarakat , kalau
kedudukan tersebut digunakan untuk amar ma’ruf nahi munkar, untuk melaksanakan
kebenaran, untuk menegakkan agama Allah. Bukan untuk mencari keuntungan diri
sendiri , juga bukan karena keinginan hawa nafsu semata.
Menuntut ilmu bukan karena Allah Ta’ala termasuk dosa
besar, sebab Allah
menyatakan bahwa tiap-tiap orang dalam melakukan perintahnya harus bersikap
ikhlas, bersih dari pamrih keduniaan[14] , penyebab tercegah dari aroma surga dan Allah Ta’ala menyediakan adzab yang pedih bagi orang yang meniatkannya
bukan karena Allah.
Rasulullah SAW
bersabda,
مَنْ تَعَلّمّ
عِلْمًا مِمَّا يَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللهِ , لاَ يَتَعَلَّمُهُ إِلَا لِيُصِيْبَ
بِهِ عَرْضًا مِنَ الدُّنْيَا , لَمْ
يَجِدْ عُرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Artinya : “Barangsiapa yang menuntut ilmu
yang seharusnya karena Allah , namun ia mencari ilmunya hanya untuk meraup keuntungan materi di dunia, maka ia tidak akan mencium harumnya
surga di hari kiamat.” [15]
Bahkan orang yang menuntut ilmu bukan karena mengharap wajah Allah termasuk
orang yang pertama kali dipanaskan api Neraka untuknya.[16]
Hal itu perlu direnungkan oleh para penuntut ilmu, supaya
ilmu yang mereka cari dengan susah payah tidak sia-sia. Oleh karena itu dalam
mencari ilmu jangan punya niat untuk mencari kebahagiaan dunia yang hina dan
fana. Seperti sebuah syair :”Dunia ini
lebih sedikit dari yang sedikit, orang yang terpesona padanya adalah orang yang
paling hina. Dunia dan isinya adalah sihir yang dapat menipu orang tuli dan
buta. Mereka adalah orang-orang bingung tak tentu arah, karena jauh dari
petunjuk.”
Para ulama haru menjaga diri dari hal-hal yang dapat
merendahkan martabatnya. Harus tawadhu’ dan tidak tamak pada harta dunia.
Al-Ustadz Ruknul Islam, yang lebih populer dengan sebutan Al Adib mengalunkan
gubahan syairnya : “Tawadhu adalah salah satu tanda atau sifat orang yang
bertakwa. Dengan bersifat tawadhu , orang yang takwa akan semakin tinggi
martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa
membedakan antara yang beruntung dan orang yang celaka. Dia menganggap orang
yang tawadhu’ adalah orang hina atau rendah.”
Abu hanifah berkata ,” Besarkan surban dan lebarkan
lengan baju kalian “. Beliau berkata demikian agar ilmu dan orang yang
berilmu tidak diremehkan.
Imam Malik bin Dinar (wafat th. 130 H) rahimahullaah
mengatakan, ”Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah Ta’ala, maka ilmu itu
akan menolaknya hingga ia dicari hanya karena Allah.” [17]
Baiknya niat merupakan penolong yang paling besar bagi
seorang penuntut ilmu dalam memperoleh ilmu, sebagaimana dikatakan Abu
‘Abdillah ar-Rudzabari (wafat th. 369 H) rahimahullaah, “Ilmu tergantung amal,
amal tergantung keikhlasan, dan keikhlasan mewariskan pemahaman tentang Allah
‘Azza wa Jalla.”[18]
Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat th. 96 H) rahimahullaah
mengatakan, “Barangsiapa mencari sesuatu berupa ilmu yang ia niatkan karena
mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya.” [19]
3. Niat menuntut Ilmu karena Wanita.
Sabda beliau
Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam “barangsiapa yang hijrahnya karena
dunia yang hendak dia raih atau karena wanita yang hendak dia nikahi maka
hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya” di dalamnya terdapat dua
faedah :
- Dalam kalimat ini Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam hanya menyebutkan kalimat jawaban syarat dengan sabdanya “maka hijrahnya kepada apa yang dia hijrah kepadanya” dan tidak mengulangi lafadznya sebagaimana ketika beliau menyebutkan tentang hijrah karena Allah dan Rasul-Nya. Hal ini menunjukkan akan rendah dan hinanya apa yang dia niatkan dengan hijrahnya sekaligus menunjukkan rendah dan hinanya dunia dan wanita bila keduanya dijadikan sebagai niat dalam beribadah atau pun dalam menuntut ilmu.
- Fitnah-fitnah dalam beragama sangatlah banyak, pemberian contoh dalam hadits dengan fitnah dunia dan fitnah wanita menunjukkan besarnya kedua fitnah ini dibandingkan fitnah-fitnah lainnya dan lebih terkhusus lagi fitnah wanita karena disebutkan secara sendiri –padahal wanita termasuk dari dunia- menunjukkan fitnah wanita lebih besar daripada fitnah dunia.
Berikut beberapa hadits dari Rasulullah
Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam yang menunjukkan besarnya kedua
fitnah ini serta wajibnya seorang muslim untuk menghindar dari kedua fitnah ini
:
Hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu :
يَتْبَعُ الْمَيِّتَ ثَلَاثٌ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى
وَاحِدٌ يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ
وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Mayat diikuti (ke kuburan) oleh tiga (perkara), akan
kembali dua dan akan tinggal (bersamanya) satu. Dia diikuti oleh keluarganya,
hartanya dan amalannya, maka akan kembali keluarga dan hartanya sedang yang
tinggal adalah amalannya”. (HR. Bukhary-Muslim)
Hadits Miswar bin Makhromah radhiallahu ‘anhu :
فَوَاللَّهِ مَا الْفَقْرَ أَخْشَى عَلَيْكُمْ وَلَكِنِّي
أَخْشَى عَلَيْكُمْ أَنْ تُبْسَطَ الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى
مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا وَتُهْلِكَكُمْ كَمَا
أَهْلَكَتْهُمْ
“Maka demi Allah, bukan kemiskinan yang saya takutkan atas
kalian, akan tetapi yang saya takut atas kalian adalah dilapangkannya dunia
kepada kalian sebagaimana telah dilapangkan kepada orang-orang sebelum kalian
kemudian kalian berlomba-lomba mengejarnya sebagaimana mereka telah
berlomba-lomba, lalu dunia tersebut menghancurkan kalian sebagaimana telah
menghancurkan mereka”. (HR. Bukhary-Muslim)
Hadits Ka’ab bin ‘Iyadh radhiallahu ‘anhu :
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَفِتْنَةُ أُمَّتِي الْمَالُ
“Sesungguhnya setiap ummat mempunyai fitnah dan fitnahnya
ummatku adalah harta”. (HR.
At-Tirmidzy)
Hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu :
مَا تَرَكْتُ بَعْدِي فِي النَّاسِ فِتْنَةً أَضَرَّ عَلَى
الرِّجَالِ مِنْ النِّسَاءِ
“Saya tidaklah meninggalkan setelahku
suatu fitnah kepada manusia yang lebih berbahaya bagi para lelaki daripada para
wanita”. (HR. Bukhary-Muslim)
Hadits ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu :
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ
الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ
الْمَوْتُ
“Hati-hati kalian dari masuk kepada para wanita, maka ada
seorang lelaki dari Anshor yang berkata : Wahai Rasulullah, bagaimana
pendapatmu tentang ipar?, beliau menjawab : Ipar adalah kematian”. (HR. Bukhary-Muslim)
Perkara yang sangat penting untuk
diperhatikan yaitu bahwa sekedar niat yang baik dalam beramal sama sekali
tidaklah cukup sebagai sebab diterimanya amalan tersebut oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala, akan tetapi –sebagaimana yang dimaklumi- bahwa suatu amalan
–bagaimanapun besar dan hebatnya- tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa
Ta’ala dari siapapun juga kecuali setelah terpenuhinya dua syarat :
- Hendaknya amalan tersebut dikerjakan semata-mata karena mengharapkan wajah Allah Ta’ala, sebagaimana yang terkandung dalam hadits ‘Umar ini.
- Hendaknya amalan tersebut secara zhohirnya sesuai dengan sunnah Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala alihi wasallam, makna ini yang terkandung dalam hadits :
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا
مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara baru dalam
urusan (agama) kami ini yang bukan darinya maka amalan itu tertolak”. (HR. Bukhary-Muslim dari ‘ A`isyah
radhiallahu ‘anha)
Dan penjelasan tentang dua syarat ini
insya Allah akan kita bahas lebih meluas pada tempatnya.
Beberapa faedah yang terdapat dalam hadits ini :
·
Tidak boleh beramal sebelum mengetahui
hukumnya, karena mustahil seseorang bisa berniat dengan niat yang benar bila
dia tidak memiliki ilmu tentang amalan tersebut.
·
Wajibnya memberikan perhatian dan
penjagaan terhadap amalan-amalan hati, juga wajib berhati-hati dari riya,
sum’ah dan beramal untuk mendapatkan dunia.
·
Hendaknya orang yang memberikan suatu
kaidah memberikan perincian dan contoh pengamalan dari kaidah tersebut sehingga
lebih mudah dipahami dan diamalkan. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alai wa ‘ala
alihi wasallam setelah beliau memberikan kaidah “Sesungguhnya setiap amalan
hanyalah tergantung dengan niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan
apa yang dia niatkan”, beliau merinci dan memberi contoh dengan sabdanya “maka
barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan RasulNya …” sampai akhir
hadits.
Berkata Ibnu Rajab rahimahullah : “Dua
kalimat ini (yaitu “Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan
niat-niatnya dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan”)
adalah dua kaidah yang tidak ada satupun amalan yang keluar darinya, lalu
beliau menyebutkan setelahnya satu contoh dari contoh-contoh amalan yang
bentuknya satu tapi berbeda baik dan buruknya sesuai dengan niat-niatnya, dan
beliau seakan-akan bersabda : “Dan seluruh amalan yang lain berjalan di atas
contoh ini”.[20]
KESIMPULAN
1. Dalam pendidikan tujuan yang paling utama
adalah mengharapkan ridha Allah dan Rasul-Nya, oleh karena itu manusia harus
mempunyai niat lillahi ta’ala dalam menggapai sebuah pendidikan.
2. Apabila kita menuntut ilmu janganlah hanya
karena urusan dunia seperti harta kekayaan dan jabatan , karena itu semua
hanyalah sesuatu yang fana bahkan dampak yang paling akhir adalah kita tidak
dapat mencium harumnya surga saat hari kiamat nanti.
3.
Berhijrah
untuk wanita yang dinikahi boleh atau sah-sah saja namun pengertian niat dalam
pandangan yang umum . Karena niat dapat
diterima jika yang melakukannya dalam keadaan berakal dan sadar.
[3] Imam Gazali, Ihya Ulumiddin (Jalan Menuju Penyucian
Jiwa) . (Jakarta : Pena Pundi Aksara,2008) . hlm.144
[4] Oneng Nurul Bariyah . 2007 . Materi Hadits tentang (Islam ,
Hukum , Ekonomi, Sosial dan Lingkungan) . Jakarta : Kalam Mulia. Hlm 51-54
[6] Muttafaq
‘alaih ; al-Bukhari, no.1 ; Muslim, no. 1907
[7] Muttafaq
‘alaih; Muslim, no.2564
[8] Abu Bakar Jabir al-Jaza’iri . Minhajul Muslim (Konsep Hidup
Ideal dalam Islam) . ( Jakarta : Darul Haq , 2011). hlm . 173-174
[9] Syaikh Az-Zarmuji, Terjemah Ta’lim Muta’alim, (Surabaya : Mutiara
Ilmu Surabaya , 1995), hlm.13.
[10] Hasbi
Ash-Shiddieqi, Kuliah Ibadah , (Jakarta: Bulan Bintang , 1994). Cet. ke
-8, hlm .76
[11] Oneng Nurul
Bariyah , Materi Hadits tentang (Islam , Hukum , Ekonomi, Sosial , dan
Lingkungan) , (Jakarta : Kalam Mulia , 2007 ) , cet. ke-1 , hlm. 51-54
[12] D.A Tisna
Amidjaja , Iman , Ilmu , dan Amal, (Jakarta : Rajawali, 1992), cet. 3 ,
Hlm. 37
[13] Syaikh Az-Zarmuji, Terjemah Ta’lim
Muta’alim, (Surabaya : Mutiara Ilmu Surabaya , 1995), hlm.14.
[14]
M. Thalib,Butir-Butir
Pendidikan Dalam Hadis,(Surabaya:al-Ikhlas),hlm.9
[15] Shahih : HR. Ahmad (II/338) , Abu Dawud (no.3664), Ibnu Majah (no.252),
al-Hakim (I/85), Ibn Hibban (no.78- At-Ta’liiqaatul Hisaan),al-Khatib dalam
Iqtidhaa’ al-‘ilmi al-amal (no.102), dan Ibn ‘Abdil Barr dalam Jaami’ Bayaanil
‘Ilmi wa Fadhlihi (I/658-659, no.1143), dari sahabat Abu Hurairah r.a . Hadits
ini dishahihkan oleh Ibn Hibban, al-Hakim, dan Syaikh al-Albani
[16] Yazid bin Abdul Qadir Jawas. Adab dan Akhlak Penuntut Ilmu
. (Bogor : Pustaka At-takwa, 2014) , cet. ke-8 . hlm 13
[17]
Iqtidha al-‘Ilmi al-‘Amal (hal. 114,
no. 201)
[18] Hadits shahih:
Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/408), al-Bukhari (no. 2101, 5534) dan Muslim (no.
2628), lafazh ini milik Muslim, dari Shahabat Abu Musa al-Asy’ari radhiyallaahu
‘anhu.
[19]
Syarah Shahiih Muslim lin Nawawi
(XVI/178).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar