Selasa, 31 Mei 2016
Senin, 30 Mei 2016
Macam-macam Qaidah Fiqhiyah
Kaidah Fiqhiyah terdiri dari Kaidah Asas
dan Far’u, setiap kaidah asas memiliki kaidah Far’u, kaidah Asas
terdiri dari lima kaidah pokok.
1.
Kaidah Pertama
الأمور
بمقا صد ها
“Setiap
pekerjaan itu tergantung pada maksudnya”.
Maksud
dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuan, motif dan
niatnya. Dengan kata lain, niat, motif dan tujuan terkandung dalam hati
seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang menentukan
nilai dan status hukum yang ia lakukan.
Kaidah
ini didasarkan kepada firman Allah SWT :
وما
امروا الاليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء
"Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam agama yang lurus”.
Rasulullah
Pun bersabda :
إنما
الإ عمال بالنيات وانمالكل امرئ مانوى
“Sesungguhnya
segala amal bergantung pada niatnya. Dan Sesungguhnya bagi seseorang hanyalah apa yang ia niati”.
Adapun cabang-cabang dari kaidah ini adalah:
مالا
يشترط التعرض له جملة وتفصيلا إذا عينه وأخطأ لم يضر
“Sesuatu
amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara rinci atau global, bila dipastikan dan ternyata salah,
maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak
membatalkan)”.
Seperti
pada kasus ketika seseorang salah mengucapkan jumlah rakaat dalam niat shalat,
seperti magrib niat 4 Rakaat.
وما
يشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل
“Suatu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya
membatalkan perbuatan tersebut”.
Atau
وما
يجب التعرض له جمله ولا يشرط تعيينه تفصيلا إذا عينه فأ خطأ ضر
“Sesuatu
amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebutkan secara
terperinci dan ternyata salah maka kesalahannya
membahayakan atau membatalkan”.
Maksud
dari kedua kaidah ini adalah ketika seseorang salah dalam niat shalat magrib
dengan menyebut shalat isya, maka kesalahannya itu membatalkannya.
2.
Kaidah Kedua
اليقين
لايز ال با لشك
“Keyakinan
tidak hilang dengan keraguan”.
Maksud
dari kaidah tersebut adalah keyakianan itu tidak bisa hilang dengan keraguan.
Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan aqidah
dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syariat islam.
Namun
demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang, kecuali
berdasarkan dalil yang pasti (qath’i), bukan semata-mata oleh argumen yang
hanya bernilai saksi atau tidak qath’i.
Qaidah
ini bersumber dari Firman Allah SWT:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي
مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ
“Dan kebanyakan mereka
tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran”.
Rasulullah SAW bersabda:
إذا
وجد احدكم فى بطنه شيىا وأشكل عليه أخرخ منه شيء ام لا فلا يخرخ من
المسجد حتى يسمع صوتا او يحخ ريحا
“Apabila
seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya kemudian sangsi apakah telah keluar
sesuatu dari perut atau belum, maka janganlah keluar
mesjid sehingga mendapatkan baunya” (HR. Muslim)
Adapun
kaidah-kaidah cabang dari kaidah kedua ini adalah:
الأصل
بقاء ما كان على ما كان
“Asal
itu tetap sebagaimana semula, bagaimana keberadaannya”.
الأ
صل بر اءة الذمة
“Asal
itu bebas dari tanggungan”.
الأ
صل العدم
“Asal itu tidak ada”
Maksud
dari kaidah tersebut adalah bahwa pada asalnya sesuatu itu belum terjadi ,
tidak ada. Seperti kasus seseorang apakah sudah shalat atau belum, maka kembali
kepada kaidah ini, yakni dia belum shalat, atau seseorang ragu wudhunya sudah
batal atau belum, maka berdasar kaidah ini wudhunya belum batal.
الأ
صل فى كل حديت تقدره بأقرب الزمان
“Asal
dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat”.
Maksud
dari kaidah ini adalah seperti pada kasus seorang yang ragu apakah sudah tiga
rakaat atau dua rakaat, maka berdasarkan kaidah ini diambil yang dua rakaat.
3.
Kaidah Ketiga
المشقة
تجلب التيسير
Maksud
dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan.
Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya, baik
kepada badan, jiwa ataupun harta seorang Mukallaf, diringankan sehingga
tidak memadaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam islam dikenal dengan rukhsah.
Kaidah
ini didasarkan kepada firman Allah SWT:
يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”
(Q.S Al-Baqarah: 185).
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan” (Q.A Al- Hajj: 78).
Dalam
sabda Rasulullah:
الدين
يسر أحب الدين الى الله الحنيفية السمحة
“Agama
itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah SWT adalah agama yang benar dan mudah” (HR. Bukhari).
Adapun
kaidah-kaidah cabang dari kaidah-kaidah ini adalah:
اذا
ضاق الأمر إتسع واذا اتسع الأمر ضاق
“Apabila
suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas, maka hukumnya menjadi
sempit”
Maksud dari kaidah ini adalah pada umumnya suatu perkara yang
sempit dalam arti sulit, maka hukumnya menjadi luas. Seperti orang yang
berpuasa dalam keadaan susah, maka hukum puasa itu menjadi luas, ia boleh untuk
tidak berpuasa, dan menggantikan puasa di lain hari. Juga jika itu luas,
hukumnya menjadi terbatas. Seperi pada kasus ibadah haji yang termasuk perkara
luas karena dapat dilaksanakan pada tahun-tahun yang dikehendaki, tetapi
hukumnya menjadi sempit dan terbatas hanya untuk orang-orang yang mampu.
كل
ما تجاوز حده انعكس الى ضده
“Semua
yang melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada kebalikannya”
Seperti
dibolehkan makan, tetapi jika berlebihan maka makan menjadi tidak dibolehkan.
الر
خص لا تناط بالمعا صى
“Rukhsah
itu tidak dapat disangkutpautkan dengan kemaksiatan”
Maksudnya
adalah Rukhsah tidak bisa dilakukan dalam hal kemaksiatan, seperti tidak
dibolehkan jamak atau qashar pada perjalanan yang mengandung
kemaksiatan.
4.
Kaidah Keempat
الضرر يزال
“Kemudharatan dapat dihilangkan.”
Maksud
dari kaidah ini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu dihilangkan.
Artinya kerusakan tidak dibolehkan dalam islam.
Kaidah
ini didasarkan kepada firman Allah SWT:
ولاتمسكو
هن صر ارالتعتدوا
“Janganlah
kamu rujuk mereka untuk memadaratkan”.
Rasulullah
SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Malik
لاضرر
ولاضرار من ضرصرها الله ومن شق شق الله عليه (رواه الامام ملك)
“Tidak
boleh memadaratkan dan dimadaratkan, barangsiapa yang memadaratkan maka Allah SWT akan memadaratkannya,
dan siapa saja yang menyusahkan, maka Allah
akan menyusahkannya”.
من
حسن المرء اسلام المرء تركه مالا يعنيه
“Diantara
kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat”.
Kaidah-kaidah
cabang dari kaidah keempat ini adalah:
الضرورة
تبيح المحظورات
“Kemadaratan membolehkan yang
madaratn(dilarang).”
Maksud
dari kaidah ini, dikarenakan madarat, maka sesuatu yang dilarang menjadi
dibolehkan. Seperti darah, karena madarat dapat dibolehkan.
ما
ابيح للضرورة يقدر بقدرها
“Sesuatu yang dibolehkan karena
madarat diperkirakan sewajarnya atau menurut batasan
ukuran kebutuhan minimal.”
Maksudnya
adalah sesuatu yang dibolehkan karena madarat itu dibolehkan sekedarnya, tidak
boleh berlebih-lebihan.
الضرر
لا يزال بالضرر
“Kemadaratan
tidak bisa hilang dengan kemadaratan lain”.
Maksudnya
adalah madarat tidak bisa hilang dengan kemadaratan lain. Seperti kasus madarat
karena tidak dapat makan dan minum, lalu ia hilangkan kemadaratan itu dengan
membunuh dirinya sendiri.
درء
المفاسد مقدم على جلب المصالح
“Menolak kemafsadatan didahulukan
daripada mengambil kemaslahatan”.
Seperti
pada kasus seseorang yang ingin mengambil manfaat dari suatu lahan, tetapi akan
terjadi kerusakan alam sekitarnya, maka manfaat tersebut tidak perlu diambil
dengan mendahulukan kerusakan alam.
5.
Kaidah Kelima
العدة
محكمة
“Suatu adat
dapat dijadikan hukum.”
Artinya, suatu kebiasaan dapat dijadikan patokan hukum. Kebiasaan
dalam istilah hukum sering disebut dalam istilah ‘urf atau adat. Meskipun
banyak ulama yang membedakan diantara keduanya, namun menurut kesepakatan
jumhur ulama, suatu adat atau urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat
berikut:
a.
Tidak bertentangan dengan syariat
b.
Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan
c.
Tidak berlaku pada umumnya orang muslim.
d.
Tidak berlaku dalam ibadah Madhah
e.
Urf tersebut sudah
memasyarakat
Kaidah
ini bersumber dari firman Allah SWT:
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى اَلدِين مِن حَرَخٍ
“Dan Dia tidak menjadikan untukmu
dalam agama suatu kesempitan” (Q.A
Al- Hajj: 78).
Dan
hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bajjar, dan Ibnu Mas’ud:
مارأه
المسلمون حسنا فهو عند الله حسن ومارأه المسلمون سيىا فهو عند الله سيىء (رواه أحمد والبزار والطبر انى فى الكبير عن ابن
مسعود)
”Apa
yang dipandang baik oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang baik, dan apa yang
dipandang buruk oleh orang islam, maka menurut
Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”.
Cabang-cabang kaidah ini adalah:
لاينكر
تنيير الأحكام بتغيير الأزمنة والأمكنة
“Tidak
diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”
المعر
وف عرفا كالمسروط شر طا
“Yang
baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang isyaratkan itu menjadi syarat.”
الثابت
بالمعرف كا لثالت بالنص
“Yang
ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash”.
Contoh-contoh dari kaidah-kaidah tersebut adalah menjual buah di
pohon. Hal ini tidak boleh menurut qiyas, karena tidak jelas jumlahnya,
tapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat), maka ulama membolehkannya, mereka
yang mengajarkan Al-Quran dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar
Al-Quran tetap eksis di kalangan umat islam dan adat-istiadat lainnya yang
berkembang di masyarakat.
Contoh
lain menurut kebiasaan yang berlaku adalah makanan atau minuman yang disuguhkan
kepada tamu, boleh dimakan tanpa membayar. Tetapi jika ada ketentuan lain,
hendaknya ada keterangan lebih dulu, baik dengan menyodorkannya daftar harga
maupun dengan pengumuman.
Atau
kasus lain, seseorang meminta tolong kepada seorang makelar untuk menjualkan
kendaraan bermotornya tanpa menyebutkan upahnya. Jika telah laku, maka orang yang menyuruh
menjualkan barangnya harus memberikan komisi kepada makelar yang menjualkannya
menurut kebiasaan yang berlaku, yaitu 2% dari harga penjualannya, kecuali ada
perundingan yang lain.[1]
Langganan:
Postingan (Atom)