Senin, 30 Mei 2016

Macam-macam Qaidah Fiqhiyah



Macam-macam Kaidah Fiqhiyah
Kaidah Fiqhiyah terdiri dari Kaidah Asas dan Far’u, setiap kaidah asas memiliki kaidah Far’u, kaidah Asas terdiri dari lima kaidah pokok.
1.                  Kaidah Pertama
الأمور بمقا صد ها
“Setiap pekerjaan itu tergantung pada maksudnya”.
           Maksud dari kaidah ini adalah setiap perkara bergantung pada tujuan, motif dan niatnya. Dengan kata lain, niat, motif dan tujuan terkandung dalam hati seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum yang ia lakukan.
           Kaidah ini didasarkan kepada firman Allah SWT :
وما امروا الاليعبدوا الله مخلصين له الدين حنفاء
           "Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan            ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus”.
           Rasulullah Pun bersabda :
إنما الإ عمال بالنيات وانمالكل امرئ مانوى
           “Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya. Dan Sesungguhnya bagi    seseorang hanyalah apa yang ia niati”.
           Adapun cabang-cabang dari kaidah ini adalah:
مالا يشترط التعرض له جملة وتفصيلا إذا عينه وأخطأ لم يضر
           “Sesuatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara rinci atau      global, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak   membatalkan)”.
           Seperti pada kasus ketika seseorang salah mengucapkan jumlah rakaat dalam niat shalat, seperti magrib niat 4 Rakaat.
وما يشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل
        “Suatu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya membatalkan   perbuatan tersebut”.
        Atau
وما يجب التعرض له جمله ولا يشرط تعيينه تفصيلا إذا عينه فأ خطأ ضر
           “Sesuatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah maka       kesalahannya membahayakan atau membatalkan”.
           Maksud dari kedua kaidah ini adalah ketika seseorang salah dalam niat shalat magrib dengan menyebut shalat isya, maka kesalahannya itu membatalkannya.

2.                  Kaidah Kedua
اليقين لايز ال با لشك
“Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”.
           Maksud dari kaidah tersebut adalah keyakianan itu tidak bisa hilang dengan keraguan. Kaidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syariat islam.
           Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang, kecuali berdasarkan dalil yang pasti (qath’i), bukan semata-mata oleh argumen yang hanya bernilai saksi atau tidak qath’i.
           Qaidah ini bersumber dari Firman Allah SWT:
وَمَا يَتَّبِعُ أَكْثَرُهُمْ إِلَّا ظَنًّا ۚ إِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا ۚ
           “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya         persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran”.
           Rasulullah SAW bersabda:
إذا وجد احدكم فى بطنه شيىا وأشكل عليه أخرخ منه شيء ام لا فلا يخرخ من المسجد حتى يسمع صوتا او يحخ ريحا
           “Apabila seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya         kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perut atau belum, maka janganlah          keluar mesjid sehingga mendapatkan baunya” (HR. Muslim) 
           Adapun kaidah-kaidah cabang dari kaidah kedua ini adalah:
الأصل بقاء ما كان على ما كان
           “Asal itu tetap sebagaimana semula, bagaimana keberadaannya”.
الأ صل بر اءة الذمة
           “Asal itu bebas dari tanggungan”.
الأ صل العدم
“Asal itu tidak ada”
           Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa pada asalnya sesuatu itu belum terjadi , tidak ada. Seperti kasus seseorang apakah sudah shalat atau belum, maka kembali kepada kaidah ini, yakni dia belum shalat, atau seseorang ragu wudhunya sudah batal atau belum, maka berdasar kaidah ini wudhunya belum batal.
الأ صل فى كل حديت تقدره بأقرب الزمان 
           “Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat”.
           Maksud dari kaidah ini adalah seperti pada kasus seorang yang ragu apakah sudah tiga rakaat atau dua rakaat, maka berdasarkan kaidah ini diambil yang dua rakaat.

3.                  Kaidah Ketiga
المشقة تجلب التيسير
           Maksud dari kaidah ini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan, jiwa ataupun harta seorang Mukallaf, diringankan sehingga tidak memadaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam islam dikenal dengan rukhsah.        
           Kaidah ini didasarkan kepada firman Allah SWT:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
           “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran          bagimu” (Q.S Al-Baqarah: 185).
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
           “Dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan” (Q.A Al-   Hajj: 78).
           Dalam sabda Rasulullah:
الدين يسر أحب الدين الى الله الحنيفية السمحة
           “Agama itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah SWT adalah agama   yang benar dan mudah” (HR. Bukhari).
           Adapun kaidah-kaidah cabang dari kaidah-kaidah ini adalah:
اذا ضاق الأمر إتسع واذا اتسع الأمر ضاق
           “Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas, maka hukumnya menjadi sempit”
        Maksud dari kaidah ini adalah pada umumnya suatu perkara yang sempit dalam arti sulit, maka hukumnya menjadi luas. Seperti orang yang berpuasa dalam keadaan susah, maka hukum puasa itu menjadi luas, ia boleh untuk tidak berpuasa, dan menggantikan puasa di lain hari. Juga jika itu luas, hukumnya menjadi terbatas. Seperi pada kasus ibadah haji yang termasuk perkara luas karena dapat dilaksanakan pada tahun-tahun yang dikehendaki, tetapi hukumnya menjadi sempit dan terbatas hanya untuk orang-orang yang mampu.
كل ما تجاوز حده انعكس الى ضده
           “Semua yang melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada kebalikannya”
           Seperti dibolehkan makan, tetapi jika berlebihan maka makan menjadi tidak dibolehkan.
الر خص لا تناط بالمعا صى
           Rukhsah itu tidak dapat disangkutpautkan dengan kemaksiatan”
           Maksudnya adalah Rukhsah tidak bisa dilakukan dalam hal kemaksiatan, seperti tidak dibolehkan jamak atau qashar pada perjalanan yang mengandung kemaksiatan.

4.                  Kaidah Keempat
           الضرر يزال
           “Kemudharatan dapat dihilangkan.”
           Maksud dari kaidah ini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu dihilangkan. Artinya kerusakan tidak dibolehkan dalam islam.
           Kaidah ini didasarkan kepada firman Allah SWT:
ولاتمسكو هن صر ارالتعتدوا
           “Janganlah kamu rujuk mereka untuk memadaratkan”.
           Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Imam Malik
لاضرر ولاضرار من ضرصرها الله ومن شق شق الله عليه (رواه الامام ملك)
           “Tidak boleh memadaratkan dan dimadaratkan, barangsiapa yang memadaratkan           maka Allah SWT akan memadaratkannya, dan siapa saja yang menyusahkan, maka    Allah akan menyusahkannya”.
من حسن المرء اسلام المرء تركه مالا يعنيه
           “Diantara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak             bermanfaat”.
           Kaidah-kaidah cabang dari kaidah keempat ini adalah:
الضرورة تبيح المحظورات
           “Kemadaratan membolehkan yang madaratn(dilarang).”
           Maksud dari kaidah ini, dikarenakan madarat, maka sesuatu yang dilarang menjadi dibolehkan. Seperti darah, karena madarat dapat dibolehkan.
ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها
           “Sesuatu yang dibolehkan karena madarat diperkirakan sewajarnya atau menurut            batasan ukuran kebutuhan minimal.”
           Maksudnya adalah sesuatu yang dibolehkan karena madarat itu dibolehkan sekedarnya, tidak boleh berlebih-lebihan.
الضرر لا يزال بالضرر
           “Kemadaratan tidak bisa hilang dengan kemadaratan lain”.
           Maksudnya adalah madarat tidak bisa hilang dengan kemadaratan lain. Seperti kasus madarat karena tidak dapat makan dan minum, lalu ia hilangkan kemadaratan itu dengan membunuh dirinya sendiri.
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
           “Menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan”.
           Seperti pada kasus seseorang yang ingin mengambil manfaat dari suatu lahan, tetapi akan terjadi kerusakan alam sekitarnya, maka manfaat tersebut tidak perlu diambil dengan mendahulukan kerusakan alam.

5.                  Kaidah Kelima
العدة محكمة
“Suatu adat dapat dijadikan hukum.”
           Artinya, suatu kebiasaan dapat dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah hukum sering disebut dalam istilah ‘urf atau adat. Meskipun banyak ulama yang membedakan diantara keduanya, namun menurut kesepakatan jumhur ulama, suatu adat atau urf bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
a.                Tidak bertentangan dengan syariat
b.               Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan
c.                Tidak berlaku pada umumnya orang muslim.
d.               Tidak berlaku dalam ibadah Madhah
e.                Urf tersebut sudah memasyarakat
           Kaidah ini bersumber dari firman Allah SWT:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِى اَلدِين مِن حَرَخٍ
           “Dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan” (Q.A Al-   Hajj: 78).
           Dan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bajjar, dan Ibnu Mas’ud:
مارأه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن ومارأه المسلمون سيىا فهو عند الله سيىء  (رواه أحمد والبزار والطبر انى فى الكبير عن ابن مسعود)
           ”Apa yang dipandang baik oleh orang islam, maka menurut Allah pun digolongkan          sebagai perkara yang baik, dan apa yang dipandang buruk oleh orang islam, maka          menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk”.
           Cabang-cabang kaidah ini adalah:
لاينكر تنيير الأحكام بتغيير الأزمنة والأمكنة
           “Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”

المعر وف عرفا كالمسروط شر طا
           “Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang isyaratkan itu menjadi syarat.”

الثابت بالمعرف كا لثالت بالنص
           “Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash”.
           Contoh-contoh dari kaidah-kaidah tersebut adalah menjual buah di pohon. Hal ini tidak boleh menurut qiyas, karena tidak jelas jumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat), maka ulama membolehkannya, mereka yang mengajarkan Al-Quran dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain agar Al-Quran tetap eksis di kalangan umat islam dan adat-istiadat lainnya yang berkembang di masyarakat.
           Contoh lain menurut kebiasaan yang berlaku adalah makanan atau minuman yang disuguhkan kepada tamu, boleh dimakan tanpa membayar. Tetapi jika ada ketentuan lain, hendaknya ada keterangan lebih dulu, baik dengan menyodorkannya daftar harga maupun dengan pengumuman.
           Atau kasus lain, seseorang meminta tolong kepada seorang makelar untuk menjualkan kendaraan bermotornya tanpa menyebutkan upahnya.  Jika telah laku, maka orang yang menyuruh menjualkan barangnya harus memberikan komisi kepada makelar yang menjualkannya menurut kebiasaan yang berlaku, yaitu 2% dari harga penjualannya, kecuali ada perundingan yang lain.[1]




[1] Dr. Hasbiyallah. M.Ag, Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung:Rosda Karya ,2014. Hlm 130-139